Sabtu 28 May 2022 01:09 WIB

Perwira Aktif Jadi Pj Kepala Daerah Dinilai Rusak Profesionalitas TNI/Polri

Penunjukan perwira TNI/Polri aktif menjadi penjabat bentuk pembangkangan UU.

Rep: Mimi Kartika / Red: Indira Rezkisari
Penunjukan personel TNI/Polri aktif menjadi penjabat (pj) kepala daerah memunculkan sejumlah problema.
Foto: Republika
Penunjukan personel TNI/Polri aktif menjadi penjabat (pj) kepala daerah memunculkan sejumlah problema.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Analis politik dari Exposit Strategic, Arif Susanto, menilai, penunjukan personel TNI/Polri aktif menjadi penjabat (pj) kepala daerah memunculkan tiga problem besar. Salah satunya, pengangkatan perwira aktif menjadi pj kepala daerah ini merusak bangunan profesionalitas TNI/Polri.

"Penunjukan ini jelas merusak bangunan profesionalitas TNI bersama-sama Polri tentu saja," ujar Arif dalam diskusi daring bertajuk Pro-Kontra Tentara Jadi PJ Kepala Daerah, Jumat (27/5/2022).

Baca Juga

Dia menyebutkan, salah satu tuntutan yang digemakan pada 1998 adalah bagaimana supaya politik lebih demokratis. Bagian yang menjadi prasyarat tersebut antara lain supaya TNI maupun Polri kembali pada tugas esensialnya yaitu menjaga pertahanan dan keamanan serta  menjaga ketertiban sosial.

Arif mengatakan, saat ini orang-orang berpikir pembangunan profesionalitas TNI/Polri sudah selesai ketika diterbitkannya Undang-Undang (UU) tentang TNI dan Undang-Undang tentang Polri. Masing-masing UU ini memuat pembatasan agar tidak terlibat dalam politik praktis.

Namun, kata Arif, ternyata pembangunan profesionalitas TNI/Polri belum selesai. Sebab, menurut dia, sejak Presiden Joko Widodo (Jokowi) memimpin negara pada 2014, ada kemunduran profesionalitas TNI/Polri yang cukup signifikan.

"Penunjukan TNI aktif untuk menjadi penjabat kepala daerah itu bukan pertama kalinya terjadi. Di era kepemimpinan Jokowi yang pertama itu sudah terjadi. Terutama para perwira Polri itu ditunjuk untuk menjalankan tugas-tugas di luar yang diamanatkan oleh undang-undang," ucap Arif.

Menurut dia, pemerintah perlu belajar bahwa politisasi lembaga yang mestinya menjaga pertahanan dan keamanan serta ketertiban sosial seperti TNI/Polri itu berbahaya. Hal ini dapat dilihat pada tragedi 1965, di mana terjadi pembunuhan enam jenderal dan pembataian lebih dari jutaan jiwa yang dituduh menjadi bagian dari Partai Komunis Indonesia (PKI).

Di samping itu, Arif mengingatkan, otoritarianisme Soeharto bertahan selama 32 tahun karena ditopang TNI/Polri yang pada waktu itu tidak profesional. Dia pun mempertanyakan, apakah seperti itu yang dituju oleh kepemimpinan saat ini.

"Susah payah kita menumbangkan Soeharto, susah payah kita membangun profesionalitas TNI/Polri, susah payah kita membentuk Undang-Undang TNI dan Undang-Undang Polri. Tetapi dirusak dalam jangka yang singkat, hanya untuk kepentingan jangka pendek politik," ucap dia.

Selain itu, Arif menilai, penunjukan perwira TNI/Polri aktif menjadi penjabat kepala daerah merupakan bentuk pembangkangan amanat Undang-Undang dan putusan Mahkamah Konstitusi (MK). UU yang dimaksud antara lain UU TNI, UU Polri, UU Aparatur Sipil Negara (ASN), dan UU tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (Pemilihan Kepala Daerah).

Dia menerangkan, dalam UU TNI disebutkan jati diri TNI salah satunya ialah tentara profesional. Berdasarkan UU, tentara profesional adalah tentara yang terlatih, terdidik, dan terlengkapi secara baik, tidak berpolitik praktis, tidak berbisnis, dan terjamin kesejahteraannya.

"Lebih lanjut diatur Pasal 39 yang menyebut bahwa prajurit TNI dilarang terlibat dalam, salah satunya adalah kegiatan politik praktis. Cukup terang, cukup jelas," kata Arif.

Kemudian, dalam Pasal 47 disebutkan prajurit TNI aktif dapat menduduki jabatan pada kantor yang membidangi koordinator bidang politik dan keamanan negara, pertahanan negara, sekretaris militer presiden, intelijen negara, sandi negara, lembaga ketahanan nasional, dewan pertahanan nasional, search and rescue (SAR) nasional, narkotika nasional, dan Mahkamah Agung. Arif menegaskan, dalam pasal tersebut tak disebutkan kementerian dalam negeri serta jabatan yang memungkinkan seseorang terlibat dalam politik praktis.

"Saya kira gubernur, bupati, wali kota, itu jelas adalah satu jabatan yang memungkinkan pejabatnya untuk menjalankan kegiatan-kegiatan yang sifatnya politik praktis," jelas dia.

Menurut Arif, hal itu terbukti karena berkaca pada pengalaman yang menunjukan terdapat sejumlah penjabat yang maju dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) berikutnya. Ini lah yang kemudian membuka peluang bagi penjabat kepala daerah untuk menjalankan politik praktis.

Selain itu, dia melanjutkan, penunjukan perwira TNI/Polri aktif merupakan bagian dari indikasi kemunduran demokrasi Indonesia kontemporer. Dia menyebut, sejak era kepemimpinan Jokowi terjadi resentralisasi kekuasaan.

"Cukup banyak kewenangan yang mula-mula dimiliki daerah itu sekarang ditarik ke pusat. Yang cukup masif lewat Undang-Undang Cipta Kerja yang memangkas banyak sekali kewenangan yang mula-mula dimiliki daerah kini dikuasai oleh pemerintah pusat," ujar Arif.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement