REPUBLIKA.CO.ID, JENEWA -- Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan, hampir 200 kasus cacar monyet telah dilaporkan di lebih dari 20 negara yang nonendemik dengan penyakit tersebut. Kendati demikian, WHO yakin penyebaran penyakit bisa dikendalikan.
WHO mengungkapkan, masih banyak pertanyaan yang belum terjawab mengapa kasus cacar monyet menyebar di negara-negara non-endemik. Sebab biasanya penyakit tersebut hanya ditemukan di Afrika. Menurut WHO, belum ada bukti juga bahwa perubahan genetik pada virus bertanggung jawab atas penyebaran penyakit yang sedang berlangsung di Amerika dan Eropa.
“Pengurutan pertama virus menunjukkan bahwa jenisnya tidak berbeda dari jenis yang dapat kita temukan di negara-negara endemik dan (wabah ini) mungkin lebih disebabkan oleh perubahan perilaku manusia,” kata Dr. Sylvie Briand yang menjabat sebagai direktur pandemi dan penyakit epidemi WHO, Jumat (27/5/2022).
Berdasarkan data WHO, hampir 200 kasus cacar monyet telah ditemukan sejauh ini. Namun jumlah itu tampaknya akan meningkat, Sebab pada Jumat lalu, otoritas Spanyol melaporkan bahwa jumlah kasus di sana bertambah menjadi 98.
Inggris pun melaporkan 16 kasus baru cacar monyet. Saat ini Negeri Ratu Elizabeth memiliki 106 kasus secara total. Portugal pun menyampaikan bahwa jumlah kasus cacar monyet di negaranya melonjak menjadi 74 kasus.
Kepala departemen cacar WHO, Dr Rosamund Lewis mengatakan, saat ini tindakan vaksinasi massal tidak perlu dilakukan. Dia menjelaskan, cacar monyet tidak mudah menyebar dan biasanya memerlukan kontak kulit-ke-kulit untuk penularan. Tak ada vaksin yang dikembangkan secara khusus untuk merespons penyebaran kasus cacar monyet. Namun WHO menyebut, vaksin cacar memiliki efikasi sekitar 85 persen untuk menangkal penyakit itu.
Mengingat pasokan global vaksin cacar terbatas, Direktur Program Kedaruratan WHO Dr. Mike Ryan mengatakan, WHO akan bekerja dengan negara-negara anggotanya untuk berpotensi mengembangkan persediaan yang dikendalikan secara terpusat. Skema semacam itu turut diterapkan selama wabah demam kuning, meningitis, dan kolera di negara-negara yang tidak mampu membelinya.
“Kami berbicara tentang menyediakan vaksin untuk kampanye vaksinasi yang ditargetkan, untuk terapi yang ditargetkan. Jadi volumenya tidak perlu besar, tetapi setiap negara mungkin memerlukan akses ke sejumlah kecil vaksin,” kata Ryan.