Sabtu 28 May 2022 21:58 WIB

Jepang Sambut Pengungsi Ukraina, Peduli HAM atau Hanya Politis?

Memiliki sejarah panjang dalam menolak penungsi, Jepang dengan cepat membuka perbatasannya untuk pengungsi Ukraina. Apa yang melatarbelakangi keputusan pemerintah Jepang membuka pintu bagi pengungsi Ukraina?

Rep: deutsche welle/ Red: deutsche welle
Jepang Sambut Pengungsi Ukraina, Peduli HAM atau Hanya Politis?
Jepang Sambut Pengungsi Ukraina, Peduli HAM atau Hanya Politis?

Pemerintah Jepang dengan cepat mengumumkan kebijakan untuk menerima lebih dari 1.000 pengungsi asal Ukraina. Namun kebijakan itu mendapat kritik dari banyak pihak. Selama ini pemerintah Jepang dinilai kurang bersedia membuka pintu negaranya bagi orang-orang yang melarikan diri dari kekerasan dan penganiayaan dari negara di sekitar Jepang.

Kelompok hak asasi manusia menilai hal ini sebagai standar ganda yang harus segera diakhiri. Jepang perlu memenuhi kewajiban internasional dalam memberikan bantuan kepada pengungsi dari zona perang lainnya.

Menurut Komisi Tinggi PBB untuk Pengungsi, hampir 6,6 juta orang Ukraina telah meninggalkan tanah air merekasejak invasi Rusia pada 24 Februari. Lebih dari 3,5 juta telah melintasi perbatasan ke Polandia, sementara yang lain telah menemukan perlindungan di negara-negara tetangga lainnya, termasuk Rumania, Hongaria dan Slovakia.

Enam hari setelah invasi, Perdana Menteri Jepang, Fumio Kishida, mengumumkan bahwa Jepang akan menerima pengungsi dari Polandia. Hal ini dilakukan Jepang sebagai upaya untuk mengurangi tekanan di Warsawa. Kebijakan itu kemudian diwujudkan dengan menerbangkan pengungsi yang mayoritas perempuan dan anak-anak ke Jepang sejak akhir Maret.

Menetap di Jepang

Jepang memberikan visa 90 hari bagi pendatang baru dari Ukraina dan kesempatan untuk beralih ke visa selama satu tahun setelah mereka mendapatkan pekerjaan. Layanan dukungan juga disediakan, termasuk informasi tentang pekerjaan, akomodasi, kelas bahasa, sekolah untuk anak-anak, dan situs web tempat mereka dapat memperoleh pakaian, perabotan, dan peralatan rumah tangga.

Pengungsi juga memenuhi syarat untuk pembayaran satu kali sebesar 1.200 euro per orang atau sekitar 18,7 juta rupiah. Selain itu para pengungsi juga mendapatkan biaya hidup sehari-hari sekitar 17 euro atau sekitar 265 ribu rupiah.

"Kami percaya ini adalah pendekatan yang baik dan kami mendukung tindakan pemerintah," kata Daisuke Sugimoto, sekretaris jenderal Jaringan Pengacara Jepang untuk Pengungsi yang berbasis di Tokyo.

"Kami melihat bahwa orang Ukraina diterima di komunitas di seluruh Jepang dan orang-orang di sini melakukan segala yang mereka bisa untuk membantu mereka," katanya kepada DW.

"Sangat disayangkan pemerintah Jepang tidak melakukan hal yang sama terhadap para pencari suaka dan pengungsi dari negara lain, orang-orang yang berusaha melepaskan diri dari perang saudara atau konflik di Afghanistan, Myanmar, Suriah dan tempat-tempat lain.”

'Sebuah keputusan politik'

Sugimoto mengatakan pemberian akses ke Ukraina adalah "keputusan politik terkait dengan kebijakan luar negeri Jepang di Ukraina, bukan keputusan berdasarkan pertimbangan dan kebutuhan kemanusiaan."

Kelompok peduli pengungsi di Jepang mengatakan persyaratan bagi seseorang untuk diberikan status pengungsi sulit dipenuhi, terutama dokumen yang membuktikan penganiayaan di tanah air mereka serta kesaksian tertulis dari para saksi.

Akibatnya, sebagian besar diperlakukan sebagai migran ekonomi dan ditahan di pusat-pusat penahanan sampai mereka dapat dideportasi, suatu proses yang dapat memakan waktu beberapa tahun karena pemohon mengajukan banding terhadap keputusan pemerintah.

Sugimoto mengatakan kehidupan bisa "sangat sulit" bagi pengungsi di Jepang. Meskipun para pengungsi diizinkan meninggalkan gedung detensi imigrasi, namun mereka tidak memiliki izin untuk bekerja dan mencari penghidupan. Kementerian Kehakiman Jepang yang mengawasi kebijakan imigrasi, menolak mengomentari peraturan seputar pengungsi.

Eri Ishikawa, ketua Asosiasi Pengungsi Jepang, mengatakan pemerintah Jepang terlalu sering gagal untuk melihat pengungsi dan pencari suaka sebagai orang yang telah menjadi sasaran penyiksaan atau pelecehan atau sebagai individu yang hidupnya dalam bahaya. Pemerintah Jepang cenderung melihat hal ini sebagai kelompok "yang perlu dikendalikan."

"Ini adalah kebijakan kontrol imigrasi daripada menemukan cara untuk membantu orang-orang ini, dan itu sangat berbeda dengan negara lain," katanya, seraya menambahkan bahwa Jepang tidak memiliki ketentuan hukum yang secara tegas melarang xenofobia atau diskriminasi rasial. Hal ini menyulitkan bagi kelompok hak asasi manusia untuk mendorong perlakuan yang lebih baik terhadap pengungsi asing.

Mengubah sikap

Ishikawa mengatakan dia merasa termotivasi dengan cara di mana orang Jepang biasa telah berusaha keras untuk membantu orang Ukraina menyesuaikan diri dengan kehidupan baru mereka. Dia berharap bahwa sekarang masyarakat sipil Jepang telah menyaksikan, melalui liputan media yang luas tentang apa yang telah dialami para pengungsi. Ishikawa berharap akan terbukanya kesempatan yang lebih besar untuk para penyintas konflik dari negara lain dapat mencari suaka ke Jepang.

"Banyak orang Jepang sekarang telah melihat apa yang terjadi di Ukraina ... jadi mereka benar-benar memahami penderitaan orang-orang ini," Ungkap Ishikawa. Dia menambahkan bahwa penelitian menunjukkan bahwa mayoritas orang di Jepang sekarang mendukung lebih banyak orang Ukraina diizinkan masuk ke negara itu.

"Giliran organisasi seperti kami untuk menjelaskan kepada orang Jepang bahwa lebih banyak orang hidup dalam situasi yang sama berbahayanya di bagian lain dunia, dan lebih banyak yang harus dilakukan untuk membantu mereka," seru Ishikawa. "Apa yang terjadi di banyak tempat sangat memilukan, tetapi saya berharap apa yang terjadi di Ukraina dapat membantu mengubah sikap orang Jepang biasa terhadap pengungsi," tambahnya. (rs/yf)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement