REPUBLIKA.CO.ID, PARIS --Tepatnya dari Mei 2018 hingga Juni 2021. Saat itu ia melatih Napoli dan Everton. Ia gagal membawa dua tim tersebut berprestasi di level teratas.
Sesuatu yang masih dipahami oleh sebagian orang. Ini mengingat Partenopei dan the Toffees bukan klub dengan sejarah mentereng. Tapi tetap saja Ancelotti merupakan juru taktik berpengalaman.
Itu menjadi tantangannya ketika membesut tim semenjana. Ia gagal mengangkat pamor tim kota Naples dan skuad Merseyside Biru. Berjalannya waktu, pria Italia ini kembali ke Real Madrid.
Masih banyak keraguan terhadap dirinya. Pasalnya Don Carlo dinilai mulai ketinggalan zaman. Gaya permainannya kurang tepat dengan era sepak bola modern.
Saat ini kiblat lapangan hijau lebih mengarah pada pelatih Manchester City, Pep Guardiola, dan arsitek Liverpool, Juergen Klopp. Siapa sangka, Ancelotti sukses menghentikan laju dua akhli taktik jempolan itu, pada musim ini. Teranyar, El Real menumbangkan Liverpool pada final Liga Champions (UCL) musim 2021/22.
Skor 1-0 untuk keunggulan Los Blancos tercipta di Stade de France, Paris, Ahad (29/5/2022) dini hari WIB. Itu trofi ke-14 si putih di kompetisi terelit benua biru. Pada saat yang sama, Don Carlo semakin melebarkan sayapnya.
Ia pelatih pertama dalam sejarah yang mendapatkan empat trofi si kuping lebar. Dua bersama AC Milan. Sisanya saat ia menangani Real Madrid.
"Gelar ini yang paling sulit yang pernah saya menangkan," ujar Ancelotti, dikutip dari UEFA.com.
Tak berlebihan apa yang dikatakan allenatore yang bulan depan berusia 63 tahun itu. Sepanjang perjalanan menunggu tangga juara UCL musim ini, Los Blancos tidak mutlak menjadi unggulan. Satu-satunya hal yang membuat mereka dihormati hanya karena faktor sejarah dan mentalitas.
Dari sisi teknis El Real kesulitan ketika jumpa tim seperti Paris Saint Germain, Chelsea, dan Manchester City. Tapi hasil akhir selalu berpihak pada Karim Benzema dan rekan-rekan. Anak asuh Ancelotti bermain efektif dan jeli memanfaatkan mental juara dan dukungan penggemar.
Hingga akhirnya jumpa Liverpool di final. Sepanjang 90 menit di Paris, Madrid diserang habis-habisan. Menurut whoscored, para penggawa the Reds melepaskan 24 tembakan dengan sembilan di antaranya tepat sasaran.
Los Blancos hanya memiliki dua shots on targe. Salah satunya berbuah gol. Sebuah kekalahan pahit dialami anak asuh Juergen Klopp. Pada saat yang sama, Raksasa Spanyol menegaskan dominasinya di kancah Eropa.
Fakta ini, tidak terlepas dari kedisiplinan segenap jugador si putih. Terutama penjaga gawang Thibaut Courtois. Juga kematangan Don Carlo saat memasuki pertandingan besar.
"Ancelotti mempersiapkan segalanya dengan sempurna," ujar pundit sekaligus pelatih legendaris asal Italia, Fabio Capello, dikutip dari laman resmi UEFA.
Don Carletto merendah. Ia merasa lebih mudah memenangkan Liga Champions bersama Madrid. Itu karena sejarah mentereng klub tersebut. Ditambah faktor penggemar yang selalu menjadi kekuatan tambahan.
Apa yang terjadi di Stade de France menunjukkan Ancelotti masih memiliki taji. Ia tetap tegar di tengah kemunculan sederet pelatih muda dengan gaya bermain tertentu. Musim ini sosok seperti Simone Inzaghi, Mauricio Pochettino, Thomas Tuchel, Guardiola serta Klopp dibabat habis.
Ia selalu memiliki momen istimewa saat menjadi juara UCL sebagai ahli taktik. Pada musim 2002/03, ia membawa Milan mengalahkan Juventus di Old Trafford. Itu pertama kalinya terjadi all-Italian finals di kompetisi terelit benua biru.
Pada musim 2006/07, bersama Rossoneri ia mengalahkan Liverpool. Sebuah pembalasan setimpal. Dua musim sebelumnya, tim besutannya itu ditaklukkan lawan yang sama dengan cara menyesakkan di Istanbul.
Pada 2013/14, Ancelotti membawa Madrid meraih La Decima. Setelah 12 tahun berlalu, si putih akhirnya merealisasikan mimpi mereka. Kini, Don Carlo dan pasukannya berjaya atas para rival yang sedang bagus-bagusnya.
Beredar kabar, sang allenatore mulai memikirkan pensiun. Apa pun keputusannya dalam beberapa tahun ke depan, Don Carlo sudah menorehkan tinta emas di panggung si kulit bundar.