TNI-Polri Aktif Jadi Penjabat Kepala Daerah Disebut Cederai Cita-Cita Reformasi
Rep: Dadang Kurnia/ Red: Fernan Rahadi
Penjabat kepala daerah (Ilustrasi) | Foto: republika
REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur menilai, pengangkatan TNI-Polri aktif sebagai Penjabat (Pj) kepala daerah merupakan preseden buruk yang akan membangkitkan kembali dwifungsi TNI-Polri. Padahal, di antara tuntutan reformasi yang dilayangkan 24 tahun silam adalah pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta dihapuskan dwifungsi TNI-Polri.
"Penunjukan perwira TNI-Polri aktif sebagai penjabat kepala daerah merupakan preseden buruk yang akan membangkitkan kembali dwifungsi TNI-Polri, sekaligus mencederai cita-cita reformasi dan kemunduran prinsip demokrasi," kata Wakil Ketua PWNU Jawa Timur, KH Abd Salam Shohib, Senin (30/5/2022).
Ia pun mengajak seluruh elemen masyarakat sipil, organisasi sosial kemasyarakatan (Ormas), dan lembaga sosial masyarakat (LSM) untuk bersama-sama mengawal dan peduli dengan jalannya reformasi dan demokrasi di negeri ini. Ia mengingatkan agar masyarakat tidak pernah takut untuk kritis dan memberikan kritik konstruktifnya kepada pemerintah.
Pria yang akrab disapa Gus Salam itu pun mencontohkan pengangkatan TNI-Polri aktif sebagai Penjabat kepala daerah hingga digelarnya Pilkada serentak 2024. Brigjen TNI Andi Chandra As’aduddin yang diangkat sebagai Pj Bupati Seram Bagian Barat, Provinsi Maluku adalah salah satu contohnya. Kemudian ada Paulus Waterpauw, perwira bintang tiga Polri yang ditunjuk sebagai Pj Gubernur Papua Barat.
"PWNU Jatim mengajak kekuatan masyarakat sipil di Indonesia untuk bersama-sama menolak kebijakan pemerintah tersebut," ujar Gus Salam.
Gus Salam pun menyampaikan sikap resmi PWNU Jatim terkait kebijakan pemerintah yang menunjuk TNI-Polri aktif sebagai Penjabat kepala daerah tersebut. Ia menegaskan, PWNU Jatim tidak sepakat dengan penunjukan TNI-Polri jadi Pj kepala daerah karena berlawanan dengan semangat reformasi
Gus Salam pun mengingatkan pemerintah tidak memanfaatkan kewenanganya dengan cara mencoreng demokrasi dan berharap pengangkatan Pj tersebut dilakukan secara transparan, jujur, dan tidak berlawanan dengan nilai-nilai demokrasi yang indeksnya semakin menurun. Ia kembali mengajak elemen masyarakat sipil untuk lebih kritis terkait kebijakan pemerintah yang dirasa bertentangan dengan demokrasi.
Seperti diketahui, sejumlah kursi kepala daerah mulai ditinggalkan pejabat definitifnya, dan untuk sementara harus diisi oleh penjabat (Pj) hingga dilangsungkannya Pilkada serentak 2024. Terdapat 272 kepala daerah yang bakal habis masa jabatannya sebelum 2024, yang terdiri dari 24 gubernur dan 248 bupati/ wali kota. Dari jumlah tersebut, ada 101 kepala daerah yang akan lengser dari kursi kepemimpinannya pada 2022, dan sisanya di 2023.