REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Para ulama sepakat bahwa pada dasarnya hal-hal yang diharamkan karena hubungan persusuan sama dengan hal-hal yang diharamkan karena hubungan nasab. Sedangkan para ulama juga berpendapat bahwa persusuan yang berdampak pada konsekuensi hukum keharaman ialah dua tahun.
Ibnu Rusyd dalam kitab Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid menjelaskan, para ulama berselisih pendapat soal menyusui bayi susuan yang sudah besar. Menurut Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Imam Syafii, dan ulama-ulama lainnya, persusuan anak yang sudah besar tidak berimplikasi pada keharaman.
Sebaliknya menurut Imam Dawud dan ulama-ulama lainnya dari Madzhab Zhahiri, hal itu berdampak pada konsekuensi mengharamkan yang mana ini adalah pendapat Sayyidah Aisyah RA.
Sedangkan pendapat mayoritas ulama adalah pendapat Ibnu Mas’ud, Ibnu Umar, Abu Hurairah, Ibnu Abbas, dan istri-istri Nabi Muhammad SAW yang lain.
Silang pendapat mereka tersebut karena ada pertentangan beberapa hadits tentang hal itu. Dalam hal ini ada dua hadits, pertama hadits Salim dan yang kedua adalah hadits Sayyidah Aisyah yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Imam Muslim. Dalam sebuah hadits disebutkan:
دخل عليها رسول الله صلى الله عليه وسلم وعندها رجل فتغير؛ لأنه لا يعرف بالصلة والقرابة لها، فقالت: (إنه أخي من الرضاعة! فقال: انظرن من إخوانكن من الرضاعة
Yang artinya, “Rasulullah SAW muncul ketika ada seseorang di dekatku. Beliau merasa tidak berkenan dan tampak murka pada raut wajahnya. Bergegas aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, orang ini adalah saudaraku sepersusuan.’ Beliau bersabda, ‘Pikirkan baik-baik soal saudara sepersusuan kalian, sesungguhnya susuan itu karena lapar,”.
Ulama-ulama yang mengunggulkan hadits ini mereka mengatakan air susu yang tidak sampai pada level mengharamkan ialah yang tidak berfungsi sebagai makanan. Namun dari hadits Salim tersebut bersifat khusus. Dan istri-istri Nabi Muhammad SAW yang lainnya juga menganggap hal tersebut adalah kemurahan bagi Salim.