REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Efek perang antara Rusia dan Ukraina, pelan tapi pasti mulai terasa di berbagai belahan dunia. Harga makanan berbahan gandum menunjukkan kenaikkan di Eropa dan Timur Tengah. Sementara kenaikan harga minyak bumi juga turut memicu inflasi di berbagai negara.
“Krisis pangan ini belum terlalu terasa efeknya secara signifikan di Tanah Air, namun kita harus bersiap menghadapinya,” ujar Ketua Umum DPP Lembaga Dakwah Islam Indonesia, KH Chriswanto Santoso.
Dia mengingatkan, perang kali ini menjadi alarm pentingnya kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan. Alhasil, swasembada pangan bukan lagi jargon atau hanya cita-cita, tapi jadi tujuan bangsa Indonesia.
Menurutnya, dukungan sumber daya alam dan iklim Indonesia, memungkinkan sepanjang musim untuk bercocok tanam merupakan modal yang tidak dimiliki sebagian besar negara di dunia.
Kiai Chriswanto juga mengatakan pangan yang menyentuh kelangsungan hidup rakyat Indonesia, saat ini terus diimpor.
Dia menyontohkan gula, beras, jagung, hingga kedelai yang merupakan komoditas asli Indonesia, bahkan dibudidayakan jauh sebelum Indonesia ada.
“Tapi kenyataannya, hari ini masih diimpor karena produksi dan konsumsi tak imbang. Tempe yang jadi lauk sehari-hari kedelainya masih impor,” kata dia.
Menurutnya, sejak 2018, ketahanan pangan dijadikan salah satu dari delapan program kerja utama LDII. Dia mengingatkan, persoalan pangan menjadi sangat politis.
“Pangan bisa jadi alat penekan bangsa lain. Misalnya, negara produsen menolak ekspor dengan alasan untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri. Dan itu bisa menyebabkan harga pangan global naik,” pungkasnya.
Komoditas seperti jagung dan kedelai, kerap pula diubah menjadi biodiesel. Isu bahan bakar tersebut, juga menyebabkan harga pangan dunia melambung, “Kami mendorong ketahanan pangan dimulai dari unit paling kecil, yakni keluarga,” kata dia.
Hal senada disampaikan Ketua DPP Lembaga Dakwah Islam Indonesia yang juga peneliti masalah pangan, Prof Rubiyo, mengatakan ketahanan pangan dimulai dari keluarga, karena bila setiap keluarga mampu mencukupi pangannya sendiri, maka terbentuk ketahanan pangan masyarakat.
“Selain itu, keluarga mengetahui apa yang mereka butuhkan dan bagaimana mendapatkan atau memproduksi di sekitar rumah mereka,” tegasnya.
Menurut Rubiyo, untuk memproduksi pangan, tiap keluarga bisa memanfaatkan pekarangan dan tak perlu halaman yang sangat luas atau bisa dengan menerapkan model urban farming.
Dengan mengetahui kebutuhan dan cara mengolahnya, ketahanan dan ketersediaan pangan bahkan kedaulatan pangan Indonesia dapat tercipta.
Dia mencontohkan, teknologi saat ini sangat memungkinkan untuk memproduksi pangan sendiri, dari hidroponik, pot, dan untuk kebutuhan protein bisa beternak ikan, “Semua itu bisa dilakukan dengan memanfaatkan pekarangan rumah,” ujarnya.
Mengenai krisis pangan global, bisa diantisipasi rakyat Indonesia dengan kembali kepada kearifan lokal, “Swasembada pangan tahun 1980-an itu bagus, hanya saja mereka yang mengkonsumsi jagung, gaplek, dan sagu berubah mengkonsumsi beras hanya karena takut dibilang miskin. Lambat laun berubah pula budayanya,” ujarnya.
Agroekosistem negara Indonesia dan terdiri dari banyak suku, menurutnya memiliki kearifan lokal berupa makanan pokok yang sifatnya spesifik, dan secara turun temurun diusahakan. Menurutnya, bila jagung, umbi-umbian, sagu, dan pisang bisa diolah sedemikian rupa bisa menghasilkan pangan yang berkualitas.
“Selain itu juga mempunyai nilai tambah dan sekaligus memiliki daya saing. Mampu mencukupi kebutuhan karbohidrat dan protein sekaligus,” ungkapnya.
Rubiyo mengatakan ketahanan pangan yang dimulai dari keluarga dan melakukan diversifikasi sumber pangan lokal, mampu menciptakan swasembada dan kedaulatan pangan. Dengan demikian, krisis pangan dunia bisa dihadapi dan diadaptasi dengan baik.