REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Pengamat Komunikasi Politik dari Universitas Esa Unggul, Jamiluddin Ritonga menanggapi terkait pernyataan Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU), Hasyim Asy'ari yang menyebut KPU mengikuti kemauan pemerintah terkait durasi kampanye Pemilu 2024, yaitu hanya 90 hari. Menurutnya, masa kampanye pemilu 90 hari tentu lebih cukup untuk Pileg, tapi tidak dengan Pilpres.
"Sebab, untuk seorang caleg, waktu 90 hari dapat digunakan untuk menjangkau daerah pemilihannya (dapil). Dengan begitu, setiap caleg dimungkinkan memperkenalkan diri ke seluruh dapilnya. Hal ini tentu baik, sehingga masyarakat mendapat pendidikan politik sebelum memilih seorang caleg. Namun, beda dengan Pilpres. Maka dari itu, masa waktunya harus dibedakan," katanya pada Selasa (31/5/2022).
Kemudian, ia menjelaskan, waktu 90 hari untuk Pilpres tampaknya terlalu singkat. Dengan jangkauan wilayah yang luas, sulit membayangkan seorang capres dapat berkampanye ke seluruh penjuru tanah air.
"Apalagi kebiasaan masyarakat kita yang baru merasa kenal jika bertemu langsung. Hal ini akan menyulitkan capres bila tidak menemui masyarakat," ujar dia.
Ia menambahkan dengan waktu 90 hari capres paling bisa mengunjungi masyarakat di ibu kota provinsi. Masyarakat di tingkat kabupaten/kota berpeluang dikunjungi capres relatif kecil.
"Jadi, dilihat dari pendidikan politik, waktu capres untuk bersosialisasi dengan masyarakat dirasakan masih kurang. Hal ini tentu kurang baik dilihat dari proses demokratisasi di Indonesia," kata dia.
Sebelumnya diketahui, Komisi Pemilihan Umum (KPU) akhirnya mengikuti kemauan pemerintah terkait durasi kampanye Pemilu 2024, yakni hanya 90 hari. Sebelumnya, KPU ingin masa kampanye pemilu selama 120 hari.
"Titik temunya adalah kampanye pada durasi 90 hari,” kata Ketua KPU, Hasyim Asy'ari usai bertemu Presiden Joko Widodo (Jokowi) bersama jajaran KPU lainnya di Istana Merdeka, Jakarta, Senin, (30/5/2022).