REPUBLIKA.CO.ID, KIEV -- Lembaga think-tank Study of War mengkritik langkah Presiden Rusia Vladimir Putin yang menggempur habis-habisan Kota Sievierodonetsk, Ukraina timur. Sebagian besar kota itu kini dikuasai Rusia.
"(Putin) melemparkan orang dan amunisi ke Sievierodonetsk, seakan-akan hal itu akan memenangkan perang bagi Kremlin. Dia salah," kata lembaga yang bermarkas di Washington, Amerika Serikat (AS) itu pada pekan ini.
Ribuan warga masih terjebak di kota tersebut. Gubernur Luhansk yang menangungi Sievierodonetsk Serhiy Gaidai mengatakan walaupun lambat tapi pasukan Rusia bergerak maju ke tengah kota. Ia menambahkan hal ini dapat memaksa pasukan Ukraina mundur dari sepanjang sungai Siverskyi Donets sampai Lysychansk.
Sekretaris Jenderal organisasi kemanusiaan Dewan Pengungsi Norwegia Jan Egeland mengatakan kehancuran di Sievierodonetsk "mengerikan". Lembaganya sudah lama beroperasi di kota tersebut.
Egeland mengatakan hingga 12 ribu warga sipil terjebak dalam baku tembak. Mereka tidak memiliki akses pada air, makanan, obat-obatan atau listrik.
"Pengeboman yang hampir tiada henti memaksa warga sipil mencari perlindungan di ruang bawah tanah dan tempat perlindungan bom, hanya sedikit kesempatan berharga bagi mereka untuk melarikan diri," katanya.
Terdapat laporan perubahan besar di sejumlah tempat di medan tempur. Di selatan Ukraina mengklaim telah mendorong mundur pasukan Rusia hingga perbatasan di Provinsi Kherson yang dikuasai Moskow.
Rusia menguasai Kherson pada bulan Maret lalu. Warga di sana sudah menggelar unjuk rasa menolak pendudukan Rusia. Pejabat Ukraina mengatakan pada Selasa kemarin akses internet dan telepon di Kherson terputus. Mereka menuduh Rusia memutus kabel-kabelnya.
Moskow belum memberikan komentar tentang peristiwa di Kherson. Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy mengatakan pasukan Ukraina terus bertempur walaupun Rusia lebih unggul dalam peralatan dan jumlah pasukan.
Baca juga : Rusia: Barat dan Ukraina Perlu Atasi Krisis Pangan Global