Pakar Unair Ungkap Alasan Politik Konflik Rusia-Ukraina
Rep: Dadang Kurnia/ Red: Fernan Rahadi
Perang Rusia-Ukraina | Foto: Tim infografis Republika
REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Pakar politik luar negeri Universitas Airlangga (Unair) Joko Susanto memaparkan sejumlah alasan politik yang melatarbelakangi pertempuran Rusia-Ukraina yang tak kunjung usai. Menurut Joko, konflik tersebut di antaranya dilatarbelakangi keinginan Rusia untuk mempertahankan buffer zone, perasaan persaudaraan Rusia dan Ukraina sebagai sesama negara pecahan Uni Soviet, serta serangan negara Barat kepada Rusia.
"Rusia itu tidak menghendaki Barat dalam hal ini Amerika Serikat untuk ekspansi sampai ke halaman depan dari Rusia. Dalam politik internasional, halaman depan yang dimaksud adalah buffer zone atau wilayah penyangga," kata Joko, Rabu (1/6).
Joko menjelaskan, sebelum Ukraina, ada buffer zone yang juga diperebutkan oleh Rusia dan Barat yaitu Polandia. Akan tetapi pada akhirnya Polandia jatuh ke dalam genggaman Barat. Belajar dari pengalaman inilah, Rusia tidak ingin Ukraina juga masuk ke dalam genggaman Barat karena akan membuat buffer zone Rusia semakin menipis dan hal ini mengancam keamanan Rusia.
"Dalam perspektif Rusia, hal ini dikarenakan sama saja dengan mengundang rival-rival Rusia untuk berpapasan tepat di perbatasan Rusia," ujarnya.
Menurutnya, beberapa solusi yang bisa dilakukan berkaitan dengan keinginan Rusia untuk mempertahankan buffer zone ini yaitu dengan menggagalkan keinginan Ukraina untuk masuk ke dalam NATO atau membentuk daerah penyangga baru. Hal ini juga yang melatarbelakangi Rusia mengakui kemerdekaan Ukraina bagian timur yaitu Donetsk dan Luhansk.
Joko melanjutkan, Polandia juga pernah diperebutkan oleh Rusia dan Barat. Akan tetapi, karena Polandia bukan negara pecahan Uni Soviet, Rusia tidak sekeras itu dalam menyikapinya. Berbeda dengan Ukraina yang merupakan negara pecahan Uni Soviet, Rusia merasa masih bersaudara dengan Ukraina dan merasa dikhianati dengan keinginan Ukraina menjadi bagian dari NATO.
“Serangan Eropa (Barat) terhadap Rusia itu belum ada yang sukses. Ditambah lagi, Rusia juga dianggap sebagai negara superpower dan memiliki nuklir," ujarnya.
Menurutnya, hal itu pulalah yang melatarbelakangi Barat lebih tertarik untuk menyerang Rusia secara ekonomi. Meski begitu, tampaknya Rusia sudah mempersiapkan diri untuk menerima serangan ini dengan memanfaatkan ketergantungan Barat pada produk-produk Rusia seperti sumber energi, gandum, dan sebagainya.