REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Setiap 1 Juni, bangsa Indonesia memeringati Hari Lahir Pancasila. Sesuai Surat edaran Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) No. 4/ 2022 Tentang Pedoman Peringatan Hari Lahir Pancasila pada 2022, tema yang diangkat "Bangkit Bersama Membangun Peradaban Dunia".
“Tema Pancasila kali ini membawa kita merenungi ke arah mana peradaban dunia yang akan diwarnai bangsa Indonesia. Apakah peradaban itu hanya diukur berlandaskan kecanggihan teknologi atau akhlak bangsa,” ujar Ketua Umum DPP Lembaga Dakwah Islam Indonesia, KH Chriswanto Santoso.
Dia memaparkan, bangsa Indonesia untuk membangun peradaban dunia bukan hanya mengejar ketertinggalan teknologi, namun juga menjaga agar identitas bangsa yang berjiwa gotong-royong tidak pudar. “Inti dari Pancasila adalah gotong-royong, dan ini jadi karakter suku-suku bangsa di nusantara jauh sebelum Indonesia lahir,” paparnya.
Menurutnya, sejak era kolonialisme hingga saat ini, anak-anak bangsa seperti bimbang di simpang jalan, antara modernisasi dan westernisasi. “Peralatan modern diciptakan bahkan diimpor, sementara gaya hidup Barat atau westernisasi hadir menghegemoni pola pikir masyarakat, tanpa disadari hal itu menggerus nilai-nilai gotong-royong dan sifat sosial,” ujar dia.
Alhasil gaya hidup liberal yang mementingkan diri sendiri, membuat sebagian masyarakat tak peka lagi pada kondisi bangsa. “Contoh kasat mata, adalah adanya pejabat yang korupsi dana bantuan sosial bagi wabah atau bencana, ini membuat kita berduka bercampur geram,” imbuhnya.
Untuk itu, peringatan Hari Lahir Pancasila dengan tema "Bangkit Bersama Membangun Peradaban Dunia", juga harus dimaknasi membangun akhlak bangsa. “Dahulu kala ada penataran Pedoman Penghayatan Pengamalan Pancasila atau P4, meskipun bagi anak-anak muda saat itu membuat jenuh, tapi mereka mengetahui nilai-nilai Pancasila,” ujarnya.
Nilai-nilai itu, kata dia, harus kembali digalakkan di sekolah-sekolah bahkan untuk penerimaan mahasiswa baru. “Namun yang paling efektif harus disertai prilaku Pancasilais dari para penyelenggara pendidikan, dari bahkan sampai Satpam penjaga gerbang sekolah sekalipun,” kata dia.
Sementara itu, guru besar sejarah Universitas Diponegoro Singgih Tri Sulistiyono, menjelaskan memahami dan melaksanakan nilai-nilai Pancasila menjauhkan bangsa ini dari radikalisme agama hingga nasionalisme yang sempit.
Menurut Singgih yang juga Ketua DPP Lembaga Dakwah Islam Indonesia ini, sila pertama dari Pancasila yang berbunyi ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ merupakan fondasi dalam konstruksi keindonesiaan, sehingga meskipun Islam sebagai agama mayoritas, namun agama-agama lain dapat dijalankan dengan bebas.
Singgih menyitir Bung Karno, dengan mengungkapkan sila pertama Pancasila merupakan wujud memeluk agama yang dilandasi gotong-royong, “Di dalam gotong-royong terdapat sikap saling menghormati, menghargai, toleransi, semangat membantu, tanpa meninggalkan jati diri sebagai umat Islam atau pemeluk agama tertentu,” imbuhnya.
Jika sila Ketuhanan Yang Maha-Esa dijadikan bingkai, atau wadah yang akan melahirkan agama tertentu sebagai pedoman hidup bangsa, akan menjadi bibit konflik yang berkepanjangan. Maka, menurutnya, yang patut menjadi bingkai konstruksi keindonesiaan dalam Pancasila adalah sila Persatuan Indonesia.
Dia menegaskan bahwa, bangsa Indonesia tanpa Pancasila akan rapuh. Pertama, Indonesia akan rapuh jika tidak punya fondasi religiusitas yang kuat, sebagaimana yang termaktub dalam sila pertama Pancasila. Kedua, bangsa Indonesia akan tercerai berai jika tidak ada bingkai yang jelas, seperti yang dirumuskan dalam sila ketiga, yang berbunyi ‘Persatuan Indonesia’.
Ketiga, bangsa Indonesia akan kehilangan arah, jika tidak mempunyai tujuan yang jelas, seperti yang dirumuskan di sila kelima, yang bunyinya ‘Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia’.
Selanjutnya, Indonesia tidak akan menjadi bangsa yang beradab, jika tidak memiliki nilai kemanusiaan, kebersamaan, dan tidak memiliki kesadaran untuk menerapkan gotong-royong, jika tidak ada sila kedua yang berbunyi ‘Kemanusiaan yang adil dan beradab’, dan sila keempat yang berbunyi ‘Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan’. “Masing-masing sila dapat dibedakan, tetapi tidak dapat dipisah-pisahkan, dan saling melengkapi,” ujar dia.