REPUBLIKA.CO.ID., ANKARA -- Turki akan membersihkan dua wilayah di utara Suriah, yang dekat dengan perbatasan Turki, dari elemen teroris dalam upaya negara itu untuk menghilangkan ancaman teror dari wilayah tersebut, kata presiden negara itu Recep Tayyip Erdogan pada Rabu (1/6/2022).
"Kami memasuki fase baru dari keputusan kami untuk membangun zona aman 30 kilometer selatan jauh (dari perbatasan Turki-Suriah). Kami membersihkan Tel Rifat dan Manbij dari teroris," kata Erdogan dalam pertemuan fraksi Partai Keadilan dan Pembangunan (AK) di ibu kota Ankara.
Erdogan mengatakan ketika AS dan Rusia gagal memenuhi komitmen mereka untuk menyediakan zona aman di wilayah perbatasan, Turki siap untuk melakukan operasi untuk melindungi rakyat Turki dan penduduk lokal di Suriah utara dari ancaman teroris YPG/PKK.
Dalam lebih dari 35 tahun kampanye terornya melawan Turki, PKK – yang terdaftar sebagai organisasi teroris oleh Turki, AS, dan UE – bertanggung jawab atas kematian lebih dari 40.000 orang. YPG/PYD adalah cabang PKK di Suriah.
Beralih ke tawaran Finlandia dan Swedia untuk bergabung dengan NATO, Erdogan mengulangi keberatan Turki terhadap langkah tersebut, dengan mengatakan kedua negara itu telah mendukung dan menyediakan tempat yang aman bagi para teroris, termasuk anggota YPG/PKK dan lainnya.
Swedia dan Finlandia belum memberikan tanggapan konkrit kepada Turki yang memenuhi harapannya, dan NATO adalah organisasi keamanan, bukan badan yang mendukung terorisme, kata Erdogan.
Bagaimana Turki dapat menyetujui tawaran NATO Swedia dan Finlandia di saat afiliasi teror "berkeliaran dengan bebas, mengadakan aksi besar di sana?" tanya Erdogan, menekankan bahwa Ankara mengharapkan negara-negara Eropa untuk bertindak dengan tulus dan mengatasi kekhawatirannya.
Menolak strategi PKK/YPG mengadopsi nama yang berbeda seperti SDF atau PYD, presiden mengatakan beberapa kalangan berusaha untuk menutupi teroris PKK dengan menipu orang-orang dengan berbagai label, tetapi mereka membodohi diri mereka sendiri, bukan negara Turki.
Swedia dan Finlandia secara resmi mendaftarkan diri untuk bergabung dengan NATO pada 18 Mei, sebuah keputusan yang didorong oleh perang Rusia di Ukraina, yang dimulai pada 24 Februari.
Namun Turki, anggota lama aliansi tersebut, telah menyuarakan keberatan atas tawaran keanggotaan mereka, mengkritik negara-negara tersebut karena menoleransi dan bahkan mendukung kelompok teroris seperti YPG/PKK dan FETO, kelompok yang bertanggung jawab atas kudeta gagal 2016 di Turki.
Aksesi mereka membutuhkan persetujuan bulat dari semua 30 negara anggota NATO.
Erdogan melanjutkan dengan mengatakan bahwa dunia barat yang bungkam terhadap masalah keamanan Turki dan tragedi kemanusiaan yang terjadi di perbatasan selatan Turki sekarang mengalami krisis serupa dengan konflik panas yang dimulai di utara Laut Hitam.
"Mereka yang menggunakan kesempatan mereka untuk meningkatkan kesejahteraan mereka sendiri alih-alih berkontribusi pada aliansi keamanan, di mana Turki menanggung semua beban selama bertahun-tahun, datang ke pintu NATO setelah krisis Ukraina," ujar dia.
Pendaftaran keanggotaan Swedia dan Finlandia ke NATO adalah produk dari proses semacam itu, ucap presiden Turki.
Swedia dan Finlandia mengirimkan delegasi untuk melakukan pembicaraan dengan delegasi Turki, Erdogan mengatakan, "Ini cukup menarik. Pada hari pertemuan di Ankara, mereka mewawancarai Salih Muslim (salah satu pemimpin kelompok teror YPG) di TV pemerintah Swedia."
Pembicaraan bilateral dihentikan sampai Yunani akui kesalahannya
Presiden Erdogan mendesak otoritas Yunani "untuk jujur" dalam hubungannya dengan Turki, dengan mengatakan bahwa Turki telah membatalkan perjanjian Dewan Strategis Tingkat Tinggi dengan Yunani.
Pihak Turki tidak akan mengadakan pembicaraan bilateral dengan Yunani sampai Athena memperbaiki kesalahannya, kata Erdogan.
Dia secara retoris bertanya apakah pemerintah Yunani membuka jalan bagi AS untuk mendapatkan akses ke sembilan pangkalan militer di Yunani.
Pada 24 Mei, Erdogan mengkritik Perdana Menteri Yunani Kyriakos Mitsotakis atas komentarnya terhadap Turki selama kunjungan resmi baru-baru ini ke AS, di mana presiden Turki itu mengatakan bahwa Perdana Menteri Yunani Mitsotakis tidak lagi layak untuk dihadapi olehnya.
AS dan Yunani pertama kali menandatangani Perjanjian Kerjasama Pertahanan Bersama (MDCA) pada 1990, yang telah diperbarui secara berturut-turut, dengan perpanjangan terakhir pada 2019.
Ratifikasi perjanjian baru-baru ini oleh parlemen Yunani akan memungkinkan militer AS untuk mendapatkan akses ke lebih banyak pangkalan di Yunani.