Kamis 02 Jun 2022 16:35 WIB

Australia Berusaha Cegah Kenaikan Harga Gas dan Listrik

Harga menyentuh angka tertinggi di pasar global karena sanksi terhadap ekspor Rusia.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Friska Yolandha
Perdana Menteri Australia Anthony Albanese, kiri. Australia tengah menghadapi krisis energi terburuk dalam 50 tahun terakhir.
Foto: Issei Kato/Pool Photo via AP
Perdana Menteri Australia Anthony Albanese, kiri. Australia tengah menghadapi krisis energi terburuk dalam 50 tahun terakhir.

REPUBLIKA.CO.ID, CANBERRA -- Australia tengah menghadapi krisis energi terburuk dalam 50 tahun terakhir. Menurut Menteri Perubahan Iklim dan Energi Australia Chris Bowen, masalah tersebut terus memburuk dan membutuhkan waktu untuk diatasi.

Bowen mengungkapkan, saat ini pemerintahan baru Australia di bawah kepemimpinan Perdana Menteri Anthony Albanese sedang berusaha menahan kenaikan harga gas dan listrik. “Tindakan diperlukan dan tindakan sedang diambil,” kata dia dalam konferensi pers pertamanya sebagai menteri, dilaporkan ABC News, Kamis (2/6/2022).

Baca Juga

Australian Energy Market Operator telah menaikkan harga gas dan listrik di tengah gangguan rantai pasokan akibat perang Rusia-Ukraina. Pada Rabu (1/6/2022) lalu, Australia’s ReAmped Energy, perusahaan penyedia listrik independen di Australia, mengambil langkah tak biasa, yakni meminta para pelanggannya beralih ke pengecer lain.

Hal itu karena Australia’s ReAmped Energy hendak menaikkan harga listrik yang mereka sediakan. “Kami tahu, banyak rumah tangga di Australia sudah menghadapi tekanan biaya hidup dan kami tidak ingin berkontribusi lebih dari yang dibutuhkan,” kata CEO Australia’s ReAmped Energy Luke Blincoe.

"Jadi kami berada dalam posisi yang tidak menyenangkan untuk menasihati para pelanggan bahwa mereka bisa mendapatkan harga yang lebih baik dengan penyedia lain, dan mereka harus mencarinya secepat mungkin,” kata Blincoe menambahkan.

Menurut Sydney Morning Herald, Australia menyaksikan krisis energi terbesar dalam 50 tahun. Harga menyentuh angka tertinggi multi-tahun di pasar global karena sanksi terhadap ekspor Rusia. "Krisis seperti ini belum pernah terlihat sejak tahun 1970-an," kata Meg O'Neill, kepala eksekutif produsen minyak dan gas terbesar di Australia, Woodside.

Pada Rabu lalu, perusahaan gas Rusia, Gazprom, telah menangguhkan pasokan gasnya ke perusahaan energi asal Denmark, Orsted Salg & Service A/S dan perusahaan Shell Energy Europe. Hal itu karena kedua perusahaan gagal memenuhi syarat pembelian gas dari Gazprom, yakni dengan menggunakan mata uang rubel. Sehari sebelumnya, Gazprom juga memperpanjang pemangkasan suplai gasnya ke GasTerra, perusahaan yang membeli dan memperdagangkan gas atas nama pemerintah Belanda.

Sebelumnya Rusia pun sudah menyetop pasokan gas alamnya ke Bulgaria, Finlandia, dan Polandia. Hal itu karena ketiga negara tersebut menolak melakukan pembelian dengan menggunakan rubel. Ditutupnya aliran gas Rusia telah memicu kenaikan harga gas serta berkontribusi pada melonjaknya inflasi. Di sisi lain, hal itu memberi tekanan pada pemerintah dan perusahaan di Eropa untuk menemukan pemasok alternatif selain Moskow, termasuk fasilitas penyimpanannya.

Meski situasinya demikian, pada Selasa malam lalu, Uni Eropa sepakat melakukan embargo parsial terhadap komoditas minyak Rusia. Hungaria, Slovakia, serta Republik Ceko diberi pengecualian dan tetap diperkenankan memperoleh pasokan minyak Rusia yang dikirim lewat pipa Druzhba. Keputusan embargo yang sudah diperdebatkan selama berminggu-minggu bertujuan menghentikan 90 persen impor minyak mentah Rusia ke 27 negara anggota Uni Eropa. Hal itu akan berlaku penuh akhir tahun ini.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement