REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Pelaksana Bank Dunia Mari Elka Pangestu berharap konflik Rusia dan Ukraina yang masih berlangsung tak akan mempengaruhi agenda perubahan iklim.
"Tetapi memang kenyataannya, ruang fiskal menjadi jauh lebih terbatas," ujar Mari dalam Webinar T20 Indonesia di Jakarta, Kamis (2/6/2022).
Selain itu, ia menilai dalam jangka pendek, beberapa negara maju dan banyak negara lain kemungkinan akan menunda langkah untuk keluar dari bahan bakar fosil hanya karena masalah keamanan energi yang disebabkan oleh perang kedua negara. Maka dari itu, saat ini terdapat isu ketahanan energi yang bercampur antara argumen penundaan baru transisi kepada energi terbarukan dengan percepatan transisi energi terbarukan yang lebih besar.
"Ini menjadi semacam salah satu ketegangan," ungkap dia.
Oleh karenanya, Mari berpendapat pentingnya memiliki ketahanan energi, serta aksesibilitas, keterjangkauan, dan keandalan melalui diversifikasi seluruh sumber energi, termasuk energi terbarukan. Saat ini banyak dunia berfokus pada transisi energi dalam agenda perubahan iklim lantaran sektor tersebut merupakan penyumbang emisi karbondioksida terbesar.
Di sisi lain, penghasil emisi karbondioksida terbesar adalah negara maju dan beberapa grup negara berpenghasilan menengah. Namun di saat bersamaan, lanjut dia, beberapa negara masih menangani akses energi di negara-negara termiskin. Ada sekitar 760 juta orang di dunia yang tidak memiliki listrik serta satu miliar orang tak memiliki akses ke listrik yang andal.
"Jadi ini menjadi pertanyaan besar. Bagaimana kita bisa melakukannya dengan benar? Bagaimana kita bisa sampai di sana," ujar Mari.