REPUBLIKA.CO.ID, KOLOMBO -- Sri Lanka tengah berupaya mengamankan sekitar 5 miliar dolar AS atau setara sekitar Rp 72,3 triliun dalam pendanaan untuk menutupi pembayaran impor bahan bakar dan barang lainnya melalui jalur kredit. Selain itu pemerintah menambah 1 miliar dolar AS untuk meningkatkan cadangan devisa.
Negara kepulauan itu tengah bergulat dengan krisis keuangan terburuknya dalam lebih dari tujuh dekade dengan kekurangan devisa yang parah. Sri Lanka kemudian berjuang membayar impor penting termasuk makanan, bahan bakar, pupuk dan obat-obatan.
Cadangan devisa Sri Lanka mencapai 1,81 miliar pada April. Perdana Menteri Ranil Wickremesinghe telah menaikkan pajak untuk menopang pendapatan pemerintah. Ia juga berencana untuk memotong pengeluaran secara tajam dalam anggaran sementara yang akan disajikan dalam beberapa pekan.
Sri Lanka juga tengah merundingkan paket bailout dengan Dana Moneter Internasional (IMF). Dana ini berpotensi memungkinkannya untuk meminjam setidaknya 3 miliar dolar AS melalui fasilitas dana pemberi pinjaman.
"Dia menjelaskan bahwa diskusi dengan IMF sedang berlangsung dan dia berharap negosiasi akan selesai pada akhir bulan," kata kantor Wickremesinghe merujuk pada diskusi antara perdana menteri dan kamar dagang lokal, dikutip laman Channel News Asia, Jumat (3/6/2022).
Wickremesinghe mengatakan bahwa setiap bridging finance akan bergantung pada tercapainya kesepakatan Sri Lanka dengan IMF. Sejauh ini, Sri Lanka telah menerima dua jalur kredit senilai 1,5 miliar dolar AS dari India untuk bahan bakar dan impor kebutuhan pokok. Negara tetangga juga tengah dalam pembicaraan untuk jalur kredit 500 juta dolar AS lagi untuk mendanai impor bahan bakar.
Sri Lanka juga meminta bantuan negara lain, termasuk Jepang, yang memiliki hubungan komersial lama dengan negara kepulauan itu. Namun, hubungan dengan Tokyo mendingin setelah Sri Lanka pada 2020 membatalkan proyek kereta api ringan senilai 1,5 miliar dolar AS yang sebagian besar akan didanai oleh Jepang.
"Dia (Wickremesinghe) menambahkan bahwa hubungan dengan Jepang telah rusak, dan akan memakan waktu lama untuk memperbaiki hubungan itu dan mendapatkan kembali kepercayaan mereka," kata pernyataan dari kantor perdana menteri.