Jumat 03 Jun 2022 14:46 WIB

Mungkinkah Menduetkan Ganjar dan Anies di Pilpres 2024?

Wacana duet Ganjar dan Anies mencuat jelang Rakernas Nasdem.

Red: Andri Saubani
Ilustrasi pilpres 2024
Foto: Infografis Republika.co.id
Ilustrasi pilpres 2024

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Amri Amrullah, Febrianto Adi Saputro

Belakangan muncul wacana menduetkan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo dan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan untuk Pilpres 2024. Wacana itu dilontarkan Ketua Umum Projo (Pro Jokowi) Budi Aries Setiadi, di mana mereka kini menjadi relawan pendukung Ganjar dan disusul isu usulan Ketua Umum Nasdem Surya Paloh jelang rakernas.

Baca Juga

Menurut pengamat politik dan pendiri Lingkar Madani Indonesia (LIMA) Ray Rangkuti, wacana menduetkan Ganjar dan Anies menarik untuk dianalisis. Setidaknya pertama, akan ada pertimbangan memasangkan keduanya.

Tidak sekadar karena alasan elektabilitas, keduanya merupakan bagian dari tokoh yang tertinggi, juga sebagai upaya memadamkan polirisasi politik. Yakni, polarisasi akibat residu politik identitas dari Pilkada DKI Jakarta 2017 lalu dan pilpres sebelumnya.

Dengan memasangkan keduanya, pembelahan politik akan dapat diminimalisir dan politik identitas akan dapat ditekan. Kedua, lanjut Ray, Partai Nasdem, nampaknya, telah menetapkan pilihan capres sebelum rakernas dilaksanakan pada pertengahan Juni 2022 ini.

Di mana Nasdem sebelumnya akan melaksanakan konvensi penjaringan capres 2024, tapi dibatalkan dengan menggantinya melalui mekanisme rakernas.

"Tentu saja, langkah ini lebih jauh melompat dari janji yang pernah mereka ungkapkan kepada publik," imbuhnya.

Selain itu, jelas Ray, pernyataan Budi tersebut, lagi-lagi perlu untuk memastikan kesahihannya, dengan sendirinya telah melampaui rakernas yang dimaksud.

"Tentu saja, kita perlu mendengar kesahihan info tersebut dari Nasdem. Apakah memang sudah menetapkan Anies sebagai capres mereka atau belum," terang Ray.

Penjelasan Nasdem ini penting sebagai bagian dari pertanggungjawaban publik atas info sebelumnya. Di mana Nasdem menyatakan akan melangsungkan konvensi penjaringan capres 2024.

Kemudian informasi ini juga makin menguatkan asumsi yang memang sudah beredar luas bahwa Jokowi menjagokan Ganjar sebagai capres 2024. Tentu, situasi ini akan menambah ketegangan antara PDIP dengan Ganjar plus Jokowi sendiri.

"Dan dengan sendirinya akan dapat berimplikasi pada hubungan koalisi PDIP dengan Pemerintahan Jokowi. Nasib koalisi di masa yang akan datang makin samar, ditambah dengan makin lengketnya Pak Jokowi dengan LB (Luhut Binsar Panjaitan)," ucapnya.

Di sisi lain, papar Ray, LBP sendiri adalah salah satu anggota kabinet yang paling banyak dikritik oleh PDIP, khususnya terkait dengan ide tiga priode masa jabatan presiden. Namun sekalipun prediksi ini masuk akal, tapi menurut dia, usulan ini sendiri belum tentu cesplang.

"Mengapa? Karena kesulitan, keduanya adalah wakil non partai. Ganjar, sekalipun merupakan anggota PDIP, tetapi makin jamak terlihat berbagai kritik elite PDIP terhadapnya," tegas dia.

Sementara, Anies bukanlah anggota partai manapun. Sekalipun memasangkan dua tokoh non partai bukanlah sesuatu yang baru dalam fakta politik Indonesia, terbaru seperti Jokowi-Ma'ruf Amin.

Namun, Ray melanjutkan, dengan kondisi dan peta politik sekarang, wacana menduetkan Ganjar dan Anies masih sulit untuk direalisasikan. Apakah misalnya PKS akan ikut serta mendukung, pun juga Koalisi Indonesia Bersatu juga akan terlibat di dalamnya? Oleh karena itu, ide ini masih panjang dan berliku serta penuh tantangan.

Yang pasti, kata Ray, politik di Indonesia memang lentur dan tanpa garis sama sekali. Yang berseteru dengan mudah dapat dalam satu barisan. Sebaliknya yang satu barisan dapat bersiteru. Semua atas dasar kalkulasi menang atau kalah.

"Di satu segi, situasi ini ada positifnya yakni memungkinkan menghapuskan praktek politik identitas. Tapi, tentu, mudharatnya malah lebih banyak dan panjang," imbuhnya.

Adapun, pengamat Komunikasi Politik dari Universitas Esa Unggul Jamiluddin Ritonga mengatakan, Ganjar dan Anies kurang pas untuk dipasangkan. Alasannya, kubu pendukung keduanya memiliki latar belakang berbeda.

 

"Baik Anies maupun Ganjar sama-sama memiliki elektabilitas yang tinggi. Secara matematis, mereka bila dipasangkan akan memperoleh elektabilitas tinggi. Namun, pendekatan matematis itu tampaknya tidak berlaku dalam politik, khususnya terkait elektabilitas," katanya pada Kamis (2/6/2022).

 

Menurut Jamiluddin, dua tokoh dengan elektabilitas tinggi jika dipasangkan justru akan bisa menurun. Hal itu dapat terjadi karena pendukung masing-masing calon bisa saling meniadakan. 

 

Pendukung Anies bisa saja menarik dukungannya jika berpasangan dengan Ganjar. Begitu juga sebaliknya. Penyebabnya, pendukung Anies dan Ganjar seperti minyak dan air. Kedua pendukung kerap saling meniadakan.

"Karena itu, bila sosok itu disatukan, elektabilitasnya bukan bertambah. Elektabilitasnya mereka bila dipasangkan bisa saja menjadi berkurang," kata dia.

 

"Mereka lebih baik saling bertarung dengan memilih cawapres yang saling mengisi sehingga elektabilitas bertambah," kata Jamiluddin menambahkan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement