Jumat 03 Jun 2022 18:00 WIB

Eks Wali Kota Yogyakarta Resmi Jadi Tersangka

Kasus dugaan suap bermula dari permohonan IMB apartemen Royal Kedhaton.

Rep: Rizkyan Adiyudha/ Red: Ratna Puspita
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata
Foto: ANTARA/Muhammad Adimaja
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan wali kota Yogyakarta Haryadi Suyuti resmi menyandang status tersangka suap pemberian perizinan pendirian bangunan (IMB). Status tersebut disematkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) seusai Haryadi tertangkap tangan pada Kamis (2/6) kemarin.

Haryadi bersama dengan Kepala Dinas Penanaman Modal dan PTSP Pemkot Yogyakarta Nur Widi Hartana (NWH) dan sekretaris pribadi sekaligus ajudan Haryadi Triyanto Budi Yuwono (TBY) ditetapkan sebagai tersangka penerima suap. Sedangkan tersangka pemberi suap, yakni Vice President Real Estate PT Summarecon Agung Oon Nusihono (ON).

Baca Juga

"Agar proses penyidikan dapat efektif, tim penyidik melakukan upaya paksa penahanan para tersangka untuk masing-masing selama 20 hari pertama sampai dengan 22 Juni 2022," kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata di Jakarta, Jumat (3/6).

Tersangka Haryadi ditahan di Rutan KPK Gedung Merah Putih. Sedangkan tersangka Nur Widi Hartana ditempatkan di Rutan Polres Jakarta Pusat, tersangka Triyanto Budi Yuwono di Rutan KPK pada Pomdam Jaya Guntur, dan tersangka Oon Nusihono dititipkan di Rutan KPK pada Kavling C1.

Alex mengatakan, perkara bermula saat tersangka Oon melalui Dirut PT Java Orient Property Dandan Jaya K mengajukan permohonan IMB untuk pembangunan apartemen Royal Kedhaton yang berada di Malioboro pada 2019. PT Java Orient Property merupakan anak usaha dari PT Summarecon Agung.

Sementara itu, wilayah yang menjadi lokasi pembangunan masuk dalam wilayah cagar budaya ke Dinas Penanaman Modal dan PTSP Pemkot Yogyakarta. Proses permohonan izin berlanjut pada 2021.

Untuk memuluskan pengajuan permohonan tersebut, tersangka Oon dan Dandan Jaya diduga melakukan pendekatan dan komunikasi secara intens serta kesepakatan dengan Haryadi. "Diduga ada kesepakatan antara ON dan HS antara lain HS berkomitmen akan selalu mengawal permohonan izin IMB dimaksud," kata Alex.

Alex mengatakan, pengawalan dilakukan dengan memerintahkan tersangka Nur Widi Hartana untuk segera menerbitkan izin IMB. Perizinan juga harus dilengkapi dengan pemberian sejumlah uang selama proses pengurusan izin berlangsung.

Alex melanjutkan, dari hasil penelitian dan kajian yang dilakukan Dinas PUPR, ditemukan adanya beberapa syarat yang tidak terpenuhi diantaranya terdapat ketidaksesuaian dasar aturan bangunan. Khususnya terkait tinggi bangunan dan posisi derajat kemiringan bangunan dari ruas jalan.

Tersangka Haryadi yang mengetahui ada kendala tersebut, kemudian menerbitkan surat rekomendasi yang mengakomodasi permohonan tersangka Oon dengan menyetujui tinggi bangunan melebihi batas aturan maksimal sehingga IMB dapat diterbitkan.

"Selama proses penerbitan izin IMB ini, diduga terjadi penyerahan uang secara bertahap dengan nilai minimal Rp 50 juta dari ON untuk HS melalui TBY dan juga untuk NWH," kata Alex.

Dia melanjutkan, IMB pembangunan apartemen Royal Kedhaton yang diajukan PT Java Orient Property akhirnya terbit pada 2022. Selanjutnya, tersangka Oon datang menemui Haryadi di rumah dinas jabatan wali kota pada Kamis (2/6) lalu.

Kedatangannya ke Yogyakarta untuk menyerahkan uang sejumlah 27.258 ribu dolar AS. Uang diserahkan dan dikemas dalamgoodiebag melalui tersangka Triyanto Budi Yuwono sebagai orang kepercayaan Haryadi dan sebagian uang tersebut juga diperuntukkan Nur Widi Hartana.

"Selain penerimaan tersebut, HS juga diduga menerima sejumlah uang dari beberapa penerbitan izin IMB lainnya dan hal ini akan dilakukan pendalaman oleh tim penyidik," katanya.

Atas perbuatannya, tersangka Oon sebagai pemberi disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Sedangkan ketiga tersangka penerima disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement