REPUBLIKA.CO.ID, TEL AVIV -- Perdana Menteri Israel Naftali Bennett melakukan pertemuan dengan Direktur Jenderal Badan Energi Atom Internasional (IAEA) Rafael Grossi, Jumat (3/6/2022). Dalam pertemuan di kantornya itu, Bennett menekankan, ada kebutuhan mendesak untuk mencegah Iran mengembangkan atau memperoleh senjata nuklir.
“Bennett memperjelas bahwa sementara Israel lebih memilih diplomasi untuk menolak kemungkinan Iran mengembangkan senjata nuklir, Israel berhak membela diri dan mengambil tindakan terhadap Iran guna memblokir program nuklirnya jika komunitas internasional tidak berhasil melakukannya dalam jangka waktu yang relevan,” demikian bunyi keterangan yang dirilis kantor perdana menteri Israel, dikutip laman Times of Israel.
Sementara itu Grossi mengatakan, dia dan Bennett melakukan pertukaran tentang beberapa isu penting. “Saya menekankan pentingnya perlindungan IAEA dan Perjanjian Non-Proliferasi Senjata Nuklir (NPT) untuk perdamaian serta keamanan global,” tulis Grossi lewat akun Twitter resminya.
Israel sudah cukup lama diyakini menjadi satu-satunya negara di Timur Tengah yang memiliki senjata nuklir. Ia tak mengonfirmasi atau membantah spekulasi terkait hal tersebut. Karena tidak secara resmi menyatakan memiliki senjata nuklir, Israel tidak tergabung dalam NPT.
Awal pekan ini, Bennett menuding Iran telah mencuri dokumen rahasia dari IAEA dan menggunakannya untuk menipu inspektur internasional hampir dua dekade lalu. Teheran telah membantah tuduhan tersebut. Saat ini Iran masih menjalin negosiasi dengan Amerika Serikat (AS) tentang pemulihan kesepakatan nuklir 2015 atau Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA).
Presiden AS Joe Biden berusaha memperbarui JCPOA untuk membatasi dan mengawasi program nuklir Iran. Sebagai imbalannya, sanksi ekonomi terhadap Iran dicabut. Israel menjadi negara yang paling keras menentang pemulihan JCPOA. Ia justru mendukung keputusan mantan presiden Donald Trump yang menarik AS dari kesepakatan itu pada November 2018.
Iran kerap menyatakan bahwa kegiatan nuklirnya murni untuk tujuan damai. Namun sejak Trump menarik AS dari JCPOA, Teheran mulai mengabaikan poin-poin kesepakatan yang termaktub dalam perjanjian itu, termasuk dalam hal pengayaan uranium.
Awal pekan ini, IAEA telah menerbitkan sebuah laporan yang memperkirakan bahwa cadangan uranium yang diperkaya Iran telah meningkat menjadi lebih dari 18 kali lipat dari batas yang disepakati dalam JCPOA.