REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum Pengurus Pusat Himpunan Psikologi Indonesia Prof. Dr. Seger Handoyo mengatakan, literasi kesehatan mental masih rendah. Ia mengatakan, stigma kesehatan mental masih terjadi di masyarakat Indonesia dan perlu upaya untuk menghapus stigma tersebut.
"Kita masih harus terus mengubah pandangan masyarakat tentang kesehatan mental," kata Seger dalam konferensi pers daring, Jumat (3/6/2022).
Psikolog lulusan Universitas Indonesia itu mengajak masyarakat untuk mencurahkan perasaan kepada orang terdekat bila ada masalah, atau berkonsultasi kepada psikolog bila membutuhkan bantuan profesional yang tersebar di penjuru Indonesia. "Kita butuh orang lain untuk bisa membantu agar kesehatan mental optimum," katanya.
Kesehatan mental tak hanya berarti bebas dari gangguan kejiwaan, tetapi adanya emosi positif, mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan, memiliki hubungan sosial yang baik, juga bebas dari perasaan-perasaan yang negatif. "Bebas dari kecemasan dan mampu menghadapi tuntutan serta stres kehidupan sehari-hari, itulah orang yang sehat mental," kata Seger.
Upaya meningkatkan literasi kesehatan mental memerlukan kolaborasi dari berbagai pihak, kata Seger. Ia berharap, kedepannya masyarakat bisa terdorong untuk selalu menjaga kesehatan mental selayaknya menjaga kesehatan fisik.
Psikolog klinis Karina Negara menambahkan, tingkat kesadaran kesehatan mental masih rendah di Indonesia. "Masih banyak yang bilang konseling cuma buat orang gila," kata dia.
Kendati demikian, kesadaran soal kesehatan jiwa terus membaik selama beberapa tahun belakangan, di mana orang-orang mulai nyaman bercerita soal kondisi kesehatan mentalnya secara terbuka. Model Danella Ilene, pemenang Indonesia's Next Top Model, adalah salah satu yang terbuka mengenai pergulatan soal kesehatan mental.
Ilene, sapaan akrabnya, pernah mengalami kecemasan di awal karier sebagai model. Industri yang menerapkan standard kecantikan tinggi memberikan tekanan besar kepadanya. Selama tiga tahun, tekanan itu membuatnya merasa depresi dan menjalani pola makan yang salah.
Selama tiga tahun, sejak 2015, Ilene tak memahami apa yang sebenarnya dia alami. "Yang kurasakan adalah sedih, merasa kurang, tidak bersahabat dengan badan sendiri, insomnia, depresi, suicidal thoughts," ujar dia.
Puncak ketidaknyamanan dirasakan pada 2018 hingga akhirnya dia mencari pertolongan, berawal dari mencari informasi di dunia maya dan kemudian mendapatkan kontak psikolog. "Sekali konseling, mataku langsung terbuka, terjawab apa yang selama ini ingin kuketahui," katanya, menambahkan akhirnya dia bisa berdamai dan melanjutkan hidup.