REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri BUMN Erick Thohir membantah PT Pertamina (Persero) dan Perusahaan Listrik Negara (PLN) mengalami kebangkrutan. Keuangan PLN dan Pertamina dipastikan membaik, meskipun mencatatkan kerugian signifikan.
Menurut Erick, kerugian Pertamina dan PLN ini terjadi setelah adanya lonjakan harga batu bara dan minyak mentah secara global. Komoditas ini merupakan bahan baku produksi kedua perseroan.
PLN dan Pertamina rela merugi demi tidak menaikkan tarif dua sektor energi tersebut, agar tidak menambah beban rakyat di tengah pandemi. Adapun kerugian Pertamina mencapai Rp 191,2 triliun. Sementara PLN mengalami kerugian sebesar Rp 71,1 triliun.
Erick memastikan, kerugian ini tidak membuat kedua BUMN ini menjadi bangkrut. "Kemarin kan seakan-akan PLN dan Pertamina bangkrut, tidak," ungkap Erick akhir pekan kemarin.
Sebelumnya, Erick menegaskan, pemerintah tetap hadir melakukan intervensi di saat kondisi harga pangan dan energi meningkat seperti sekarangan ini. Tujuannya, agar tidak menambah beban rakyat yang sudah berat di saat pandemi.
"Saya sudah sampaikan, tidak mungkin pemerintah dengan kondisi pangan dan energi seperti sekarang mendiamkan, tidak melakukan intervensi, tidak mungkin. pemerintah pastinya hadir. Tentu mekanisme kehadirannya melalui berbagai cara. Sebelumnya saat pandemi Covid-19 pemerintah menyediakan obat, vaksin gratis, dan sebagainya," kata Erick pada pertengahan Mei lalu.
Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati sebelumnya mencatat defisit arus kas Pertamina mencapai 2,44 miliar dolar AS atau Rp 35,86 triliun. Defisit ini terjadi per Maret 2022 lantaran Pertamina tidak menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) pada saat harga minyak mentah dunia mengalami lonjakan.
Bahkan, sepanjang 2022 defisit kas Pertamina diperkirakan 12,98 miliar dolar AS atau setara Rp 191,2 triliun."Untuk Pertamina tadi kita lihat arus kas defisitnya estimasinya mencapai 12,98 miliar dolar AS," kata Sri Mulyani dalam Rapat Kerja (Raker) dengan Banggar DPR RI, Kamis lalu.
Untuk PLN, defisit ini diperkirakan akan mencapai Rp 71,1 triliun. Kerugian ini karena imbas belum naiknya tarif listrik di tengah lonjakan harga komoditas batu bara.
Mantan direktur pelaksana Bank Dunia ini menjelaskan, harga keekonomian kedua komoditas jauh lebih tinggi dibandingkan harga listrik dan BBM yang ditetapkan di pasar dalam negeri. Akibatnya, terjadi selisih harga yang tinggi.