REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Obat antikanker bernama CF33-hNIS atau Vaxinia telah diinjeksikan kepada partisipan pertama dalam uji klinis tahap 1. Vaxinia terbuat dari virus smallpox (cacar) yang telah dimodifikasi secara genetika sehingga dapat membunuh sel kanker tanpa membahayakan jaringan sehat.
Sebelumnya, Vaxinia telah melalui tahap pengujian di laboratorium dan pada hewan coba. Dari kedua pengujian ini, Vaxinia tampak efektif dalam melawan beragam jenis sel kanker. Oleh karena itu, City of Hope dan Imugene saat ini bisa melanjutkan pengujian lebih lanjut dalam uji klinis tahap 1.
"Keutamaan CF33/Vaxinia adalah virus ini dirancang untuk menyerang semua jenis kanker," ujar Kepala Departemen Bedah dari City of Hope Dr Yuman Fong, seperti dilansir Medical News Today, Senin (6/6/2022).
Dr Fong mengungkapkan bahwa Vaxinia merupakan generasi baru virus terpeutik yang pertama. Vaxinia dinilai mampu beraksi dengan lebih selektif dan menarget sel kanker tanpa membahayakan jaringan-jaringan normal atau sehat.
CEO Imugene Leslie Chong mengatakan mereka ingin melakukan revolusi terhadap terapi kanker. Mereka tak ingin hanya berpuas diri dengan terapi yang dapat memperbaiki angka harapan hidup pasien kanker. Mereka ingin menghadirkan terapi yang bisa menyembuhkan penyakit kanker.
"Dengan cara menjadikan kanker sebagai satu penyakit dan memiliki agen yang ditargetkan untuk dilenyapkan, itulah yang diimpikan dalam terapi pengobatan kanker," jelas Chong.
Vaxinia termasuk terapi pengobatan yang menggunakan virus onkolitik. Virus onkolitik merupakan virus-virus di alam atau hasil ciptaan genetik yang memiliki kemampuan untuk menginfeksi sel tumor atau kanker secara selektif dan memperbanyak diri di dalam sel tersebut.
Saat virus onkolitik sudah memperbanyak diri, virus ini bisa menghancurkan dan membunuh sel tumor yang telah terinfeksi. Ketika sel tumor hancur, sel ini akan melepaskan berbagai protein atau antigen yang akan dideteksi oleh sistem imun tubuh sebagai benda asing. Respons imun tubuh akan terpicu untuk melawan antigen-antigen ini hingga menyebabkan kematian lebih lanjut pada sel tumor.
Lebih lanjut, sistem imun akan mendapatkan memori mengenai antigen tumor tersebut. Memori ini akan membantu mencegah terjadinya kekambuhan kanker di masa mendatang.
Selain itu, sel-sel kanker juga memiliki protein dan reseptor yang berbeda dengan sel-sel sehat pada permukaannya. Perbedaan ini yang memudahkan virus onkolitik untuk menarget dan menyerang sel kanker secara spesifik.
"Menariknya, karakteristik yang membuat sel kanker resisten terhadap kemoterapi atau terapi radiasi justru meningkatkan kesuksesan virus onkolitik, seperti CF33-hNIS (Vaxinia)," ungkap Dr Fong.
Dalam studi-studi sebelumnya, Vaxinia tampak efektif dalam melawan kanker payudara, kanker kolorektal, kanker pankreas, kanker ovarium, dan kanker paru pada sel kultur di laboratorium dan hewan coba. Dalam uji klinis tahap 1, ada sekitar 100 pasien kanker yang terlibat sebagai partisipan. Para pasien kanker ini memiliki jenis kanker padat dan sudah memasuki tahap metastase (kanker menyebar) atau stadium lanjut. Seluruh pasien sebelumnya sudah menerima minimal dua terapi kanker dasar.
Tim peneliti juga berencana untuk mengetes kombinasi pengobatan virus onkolitik dengan jenis terapi lain yaitu pembrolizumab. Pembrolizumab merupakan pengobatan kanker berjenis imunoterapi.
"Kami berharap (kombinasi ini) dapat menjadi kombinasi imunoterapi efektif dalam pengobatan kanker pada manusia," ujar Dr Fong.