REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Pakar bidang sumber daya manusia dari Universitas Islam Sultan Agung, (FE Unissula) Semarang Prof Olivia Fachrunnisa PhD mengatakan fenomena bubble burst terjadi akibat ketidakmampuan kompetensi sumber daya manusia pada perusahaan rintisan.
“Fenomena bubble burst tidak luput dari ketidakmampuan kompetensi sumber daya yang memumpuni dalam perusahaan rintisan,” ujar Olivia dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Senin (6/6).
Fenomena ledakan gelembung atau bubble burst saat ini melanda perusahaan rintisan di Tanah Air. Bubble burst dapat dimaknai sebagai fenomena terjadi eskalasi atau pertumbuhan ekonomi yang terlalu tinggi, terutama pada nilai aset, namun diiringi dengan nilai penurunan yang cepat.
Saat ini, sejumlah perusahaan rintisan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran terhadap karyawannya lantaran mengalami ketidakstabilan finansial perusahaan.
“Modal yang digelontorkan sedemikian banyak dengan usaha yang belum mendapatkan keuntungan, dan mulai ditinggalkan investor karena belum memberikan keuntungan.”
“Hal ini akan mempercepat turunnya nilai perusahaan rintisan dan efeknya muncul gelombang baru yaitu downsizing yaitu pengurangan karyawan dengan cepat, yang mana pada awalnya merekrut SDM yang banyak,” tambah dia.
Dia menjelaskan mewabahnya perusahaan rintisan di Tanah Air, memicu gelombang transaksi penjualan yang luar biasa dari konsumen dan diikuti dengan penawaran harga barang di pasar. Euforia itu menyebabkannya turunnya harga.
“Keuntungan yang sebelumnya meningkat pesat menjadi turun drastis, ditambah lagi muncul inflasi efek dari kenaikan permintaan dari konsumen,” kata Olivia.
Strategi bakar uang yang dilakukan oleh perusahaan rintisan juga dapat menjadi penyebab dari terjadinya fenomena bubble burst. Uang yang dikeluarkan untuk membangun merek perusahaannya tidak sejalan dengan perkembangan bisnis yang ada.
Di sisi lain investor sebagai penyuplai dana tidak sabar untuk menunggu keuntungan yang datang, sehingga perusahaan menggunakan sebagian uangnya untuk membayar para investor.
Untuk mengatasi hal itu, lanjut dia, perusahaan rintisan perlu meningkatkan kompetensi kapabilitas inovasi, kreatifitas dan perilaku individu dalam organisasi, melakukan re-balancing ketika terjadi pergolakan bisnis, dan fokus untuk benefit dalam jangka panjang.
“Potensi startup dalam membangun ekonomi bangsa sangat besar. Tapi perlu adanya peningkatan nilai dengan meningkatkan literasi keuangan bagi para investor dan human value literacy bagi para pelaku bisnis."
"Dibutuhkan SDM yang memiliki value lebih dan kompetensi, tidak saja dalam bidang teknologi maupun organisasi, tetapi lebih tepatnya kemampuan SDM untuk memadukan antara finansial, teknologi, dan organisasi secara bersamaan,” kata Olivia.