REPUBLIKA.CO.ID, TEHERAN -- Militer Iran mengancam akan meruntuhkan kota Tel Aviv dan Haifa di Israel jika rezim Zionis melakukan atau membuat kesalahan. Mereka tak mengungkap kesalahan semacam apa yang dapat memicu serangan demikian.
“Untuk setiap kesalahan yang dibuat oleh musuh, kami akan meruntuhkan Tel Aviv dan Haifa dengan perintah Pemimpin Tertinggi (Iran Ayatollah Ali Khamenei),” kata Komandan Pasukan Darat Militer Iran Brigadir Jenderal Kiumars Heydari, Selasa (7/6/2022), dilaporkan kantor berita semi-resmi Tasnim.
Pekan lalu, Presiden Iran Ebrahim Raisi memperingatkan negara-negara tetangganya untuk mewaspadai upaya Israel mendapatkan pijakan di kawasan. Dia mendesak upaya kolektif untuk mencegah infiltrasi rezim Zionis.
Saat melakukan percakapan via telepon dengan Presiden Armenia Vahagn Garniki Khachaturyan pada Rabu (1/6/2022), Raisi menekankan, Israel bukan teman bagi negara-negara regional. Dia mengatakan, penindasan yang dilakukan Israel terhadap rakyat Palestina belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah. “Semua kegiatan rezim Zionis harus dihadapi dengan kepekaan dan kehati-hatian untuk mencegah infiltrasinya ke kawasan,” kata Raisi, dikutip laman Iran Front Page.
Dia mengungkapkan, sebagai bagian dari kebijakan fundamentalnya, Iran akan berusaha melestarikan status geopolitik kawasan saat ini. Hal itu termasuk perbatasan internasional, penghormatan terhadap kedaulatan negara lain, dan peningkatan infrastruktur komunikasi trans-regional.
Akhir bulan lalu, Pemimpin Korps Garda Revolusi Iran Mayor Jenderal Hossein Salami menuding Israel sebagai dalang di balik pembunuhan seorang kolonel di korps tersebut, yakni Sayad Khodaei. Salami sesumbar akan membalas perbuatan Zionis. “(Khodaei) telah mati syahid oleh orang-orang paling kejam, Zionis. Insya Allah, kami akan membalas kematiannya,” ujar Salami seperti tertulis di situs resmi Korps Garda Revolusi Iran, pada 30 Mei lalu, dikutip laman Al Arabiya.
Khodaei ditembak oleh dua pengendara sepeda motor di dekat rumahnya di Teheran pada 22 Mei lalu. Menurut kantor berita Fars, terdapat lima peluru yang diarahkan pada Khodaei. Awalnya, Korps Garda Revolusi Iran menyalahkan “kelompok anti-revolusi” dan “agen arogansi global” atas pembunuhan tersebut. Kelompok anti-revolusi biasanya merujuk pada oposisi anti-rezim. Sementara arogansi global mengacu pada Amerika Serikat (AS) dan sekutunya.
Media pemerintah Iran menggambarkan Khodaei sebagai “pembela tempat suci”. Istilah itu digunakan Iran untuk merujuk pada pejuang yang dikirim ke Suriah untuk berperang bersama pasukan Presiden Suriah Bashar al-Assad.