Selasa 07 Jun 2022 23:55 WIB

Masalah Iklim, Covid-19 dan Perang Picu Krisis Pangan Termasuk di Indonesia

Kelaparan akut diperkirakan akan memburuk selama beberapa bulan ke depan.

Rep: Dwina Agustin/ Red: Esthi Maharani
Krisis pangan menghantui dunia.
Foto: AP Photo/Burhan Ozbilici
Krisis pangan menghantui dunia.

REPUBLIKA.CO.ID, ROMA -- Penilaian dalam laporan oleh Program Pangan Dunia (WFP) dan Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) memperlihatkan kondisi yang mengenaskan terhadap krisis pangan. Kondisi ini didorong oleh masalah iklim yang diperburuk penyebaran Covid-19 dan perang di Ukraina.

Direktur Eksekutif WFP David Beasley mengatakan selain merugikan yang termiskin dari yang paling miskin, krisis pangan global mengancam akan membanjiri jutaan keluarga yang baru bisa bertahan hidup. "Kondisi sekarang jauh lebih buruk daripada selama  Arab Spring pada 2011 dan krisis harga pangan 2007-2008, ketika 48 negara diguncang oleh kerusuhan politik, kerusuhan dan protes,” kata Beasley.

Beasley menyebut krisis pangan hanya puncak gunung es yang saat ini terjadi di Indonesia, Pakistan, Peru, dan Sri Lanka. Laporan tersebut menyerukan tindakan kemanusiaan yang mendesak untuk membantu titik pusat kelaparan, dengan kelaparan akut diperkirakan akan memburuk selama beberapa bulan ke depan.

Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) itu juga memperingatkan bahwa perang di Ukraina telah memperburuk harga pangan dan energi di seluruh dunia yang sudah terus meningkat. "Efeknya diperkirakan akan sangat akut di mana ketidakstabilan ekonomi dan kenaikan harga digabungkan dengan penurunan produksi pangan karena guncangan iklim seperti kekeringan atau banjir yang berulang,” kata pernyataan bersama kedua badan tersebut.

Daerah kritis pangan adalah Afrika Timur, karena kekeringan belum pernah terjadi sebelumnya melanda Somalia, Ethiopia, dan Kenya. Sementara Sudan Selatan telah menghadapi empat tahun berturut-turut banjir skala besar.

Laporan tersebut mengutip dampak iklim serius lainnya seperti hujan di atas rata-rata dan risiko banjir lokal di Sahel, petak luas Afrika yang membentang di selatan Gurun Sahara. Kondisi ini juga mengutip musim badai yang lebih intens di Karibia dan curah hujan di bawah rata-rata di Afghanistan. Negara Asia itu sudah menderita melalui beberapa musim kekeringan, kekerasan dan pergolakan politik, termasuk setelah Taliban kembali berkuasa tahun lalu.

Hasil dari pemantauan dua lembaga PBB ini menandai enam negara sebagai titik panas waspada tertinggi yang menghadapi kondisi bencana, yaitu Ethiopia, Nigeria, Sudan Selatan, Yaman, Afghanistan, dan Somalia. Dikatakan sebanyak 750 ribu orang menghadapi kelaparan dan kematian di negara-negara tersebut.

Dari jumlah itu, 400 ribu orang berada di wilayah Tigray yang diperangi di Ethiopia. Menurut kedua badan tersebut, itu menjadi jumlah tertinggi yang pernah tercatat di satu negara sejak kelaparan 2011 di Somalia.

Selain itu, Kongo, Haiti, wilayah Sahel, Sudan, dan Suriah tetap sangat memprihatinkan dan mencatat bahwa Kenya adalah negara baru ke dalam daftar itu. Sri Lanka, Benin, Cape Verde, Guinea, Ukraina dan Zimbabwe pun masuk dalam negara yang menjadi titik rawang pangan, sementara daerah-daerah yang menghadapi kelangkaan pangan yang berkelanjutan termasuk Angola, Lebanon, Madagaskar, dan Mozambik.

sumber : AP
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement