REPUBLIKA.CO.ID, TOKYO--Penjualan mobil listrik atau electric vehicle (EV) terus mengalami peningkatan di berbagai negara. Hal ini diyakini bisa membuat harga EV terus menurun karena tingginya permintaan EV membuat skala ekonomi menemukan harga keseimbangan baru yang lebih rendah.
Dikutip dari Japan Today pada Selasa (7/6/2022), rupanya saat ini pasar EV tengah menghadapi kemungkinan adanya kenaikan harga. Sebab, sejumlah bahan baku baterai mengalami peningkatan yang signifikan.
Peningkatan ini terjadi sebagai dampak dari konflik antara Rusia dan Ukraina. Konflik ini pun membuat sejumlah bahan baku seperti nikel, lithium dan kobalt mengalami peningkatan.
Kenaikan harga tertinggi dialami oleh Lithium yang harganya naik lima kali lipat. Sedangkan harga kobalt dan nikel naik hampir dua kali lipat.
Jika hal ini terus terjadi, maka pabrikan terpaksa harus menaikkan harga jual EV. Mengingat, baterai merupakan kontributor terbesar dalam penentuan harga EV.
Tentu, potensi peningkatan harga ini akan menghambat peralihan dikalangan masyarakat yang akan migrasi dari mobil konvensional ke kendaraan listrik. Karena, harga EV yang sudah mahal akan jadi semakin mahal.
Diperkirakan, gangguan pasokan bahan baku baterai yang diakibatkan oleh konflik tersebut berpotensi membuat harga EV naik sekitar 30 persen. Artinya, konflik ini telah terbukti membuat harga bahan bakar minyak naik signifikan dan juga akan berdampak pada kendaraan yang tak mengandalkan bahan bakar minyak.