Rabu 08 Jun 2022 19:12 WIB

Kepala BPOM: Kausalitas BPA dengan Penyakit Tertentu Belum Jelas

Bisphenol A merupakan zat yang digunakan dalam proses pembuatan kemasan plastik PC.

Red: Budi Raharjo
Kepala BPOM Penny Lukito mengatakan kaitan zat kimia Bisphenol A dengan gejala medis tertentu masih bersifat indikatif dan kausalitasnya belum jelas.
Foto: Istimewa
Kepala BPOM Penny Lukito mengatakan kaitan zat kimia Bisphenol A dengan gejala medis tertentu masih bersifat indikatif dan kausalitasnya belum jelas.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala BPOM Penny Lukito mengatakan kaitan zat kimia Bisphenol A dengan gejala medis tertentu masih bersifat indikatif dan kausalitasnya belum jelas. Hal ini disampaikan dalam konferensi pers BPOM seusai acara sebuah sarasehan di Jakarta (7/6/2022).  

"Penelitian-penelitian yang dilakukan terhadap BPA menunjukkan risiko bahaya kesehatan seperti infertility dan sebagainya, walaupun belum jelas kausalitasnya," kata Penny. 

BPA atau Bisphenol A merupakan zat yang digunakan dalam proses pembuatan kemasan plastik polikarbonat (PC). Plastik Polikarbonat digunakan untuk bermacam produk konsumen termasuk kemasan air minum dan sebagai lapisan (liner, epoxy) dalam kemasan kaleng makanan.

Beberapa pakar yang diundang dalam acara ini menyampaikan paparan mengenai potensi bahaya BPA jika terkonsumsi oleh manusia. Namun tidak dijelaskan detail independensi dari penelitian itu termasuk juga belum dilakukan peer review (kajian oleh peneliti lain dan sejawat). 

Soal analogi pelabelan potensi BPA dalam galon dengan pelabelan pada rokok, hal ini dianggap tidak tepat oleh pelaku industri AMDK. "Peringatan pada rokok jelas karena kandungan rokoknya berbahaya dan semua jenis rokok, baik kretek maupun nonkretek, baik dalam kemasan kertas maupun kaleng, dilabeli tanpa diskriminasi," ujar Ketua Asosiasi Air Minum Dalam Kemasan (Aspadin), Rachmat Hidayat.

Sementara dalam usulan pelabelan BPA yang mengandung BPA adalah kemasannya, dan yang diusulkan untuk dilabeli hanya satu jenis produk yaitu AMDK. "Ini logika dan narasi yang aneh," ujar Rachmat Hidayat. "Jika satu jenis rokok dilabeli yang lain tidak maka konsumen akan berpindah ke rokok yang tidak dilabeli, ini yang akan terjadi dalam industri AMDK jika diterapkan kebijakan diskriminatif."

Selama ini, untuk membatasi paparan BPA ke dalam produk makanan minuman, pemerintah melakukan aturan pembatasan migrasi BPA. Batasan maksimalnya adalah 0,6 bpj (bagian per juta) berlaku untuk semua kemasan yang berpotensi mengandung paparan BPA. Sejak 2016-2021 BPOM melakukan pengawasan dan penelitian dan hasilnya menurut Deputi BPOM Rita Endang masih dalam taraf aman.

Penelitian terbaru BPOM terhadap beberapa sampel air kemasan Galon PC menunjukkan 3,4 persen dari sampel kemasan melampaui ambang. Namun BPOM belum memaparkan penelitian ini secara lengkap kepada produsen AMDK dan industri sebagaimana kebiasaan yang dilakukan selama ini.

Pengamat kebijakan publik, Agus Pambagio, mengatakan semua sepakat adanya bahaya BPA dalam level tertentu dan selama ini sudah diatur. Namun yang menjadi pertanyaan dia adalah mengapa usulan kebijakan pelabelan ini khusus hanya untuk galon kemasan air? "Padahal BPA ada di banyak kemasan pangan lain. Kenapa ada usulan kebijakan diskriminatif seperti ini?" ujar dia.

Aspadin berulangkali menolak usulan kebijakan diskriminatif BPOM dan sudah mengadukan ke lembaga pemerintah lain seperti KPPU, Kemenperin, Kemenko Perekonomian dan Seskab. Evan Agustianto, mewakili produsen AMDK yang hadir di sarasehan, juga mempertanyakan kebijakan tersebut. "Kami menolak pelabelan BPA hanya untuk kemasan galon AMDK," kata Evan menegaskan.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement