REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Seorang pengacara di Amerika Serikat menganggap long Covid sebagai bentuk disabilitas baru yang berpotensi secara permanen memengaruhi jutaan pekerja. Kondisi tersebut dinilai mengimbas kehidupan pengidapnya setelah pulih dari Covid-19.
Gejala dan waktu timbulnya long Covid bervariasi. Pasien long Covid adalah mereka yang masih mengalami gejala Covid-19 walau sudah tidak terinfeksi virus corona. Kantor Akuntabilitas Pemerintah AS memprediksi, long Covid telah memengaruhi tujuh juta hingga 23 juta warga AS.
Anggapan long Covid sebagai bentuk disabilitas baru disampaikan oleh profesor hukum Universitas Pennsylvania, Jasmine Harris. Sayangnya, menurut dia kondisi medis itu sukar untuk diakomodir oleh Undang-Undang Penyandang Disabilitas Amerika pada 1990.
Pasalnya, definisi secara hukum/undang-undang tentang kecacatan atau disabilitas berbeda dari definisi medis. Para profesional medis terus mendalami kondisi pasien untuk menentukan apa itu long Covid, dengan banyak ahli berteori bahwa itu adalah istilah umum untuk berbagai kondisi.
Menilik undang-undang, seseorang dengan disabilitas didefinisikan sebagai "seseorang yang memiliki gangguan fisik atau mental yang secara substansial membatasi atau satu atau lebih aktivitas utama dalam hidupnya". Harris mengatakan, dampak serius dari long Covid pun membatasi pasien.
Kondisi medis itu dapat memengaruhi individu berbeda dengan derajat yang berlainan. Ada lebih dari 200 gejala long Covid telah didokumentasikan, mulai dari kelelahan yang terus-menerus, batuk, kurangnya fungsi indra perasa dan penciuman, halusinasi, disfungsi ereksi, ketidakmampuan untuk merekam ingatan baru, dan perasaan tidak nyaman.
"Kita harus tahu lebih banyak. Apakah itu secara substansial membatasi satu atau lebih aktivitas kehidupan utama, seperti berpikir, berjalan, dan dalam beberapa kasus, pekerjaan," ungkap Harris, dikutip dari laman Fortune, Kamis (9/6/2022).
Long Covid umumnya merupakan 'cacat tak terlihat', lantaran tidak melibatkan kursi roda, kruk, atau alat bantu lainnya. Disabilitas semacam itu tidak benar-benar terlihat dan sukar didokumentasikan. Kondisi itu bisa menjadi masalah bagi orang yang ingin melamar kerja, begitu juga bagi perusahaan.
Harris mencontohkan apabila seseorang memiliki kelelahan kronis akibat Covid-19. Jika kondisi tersebut tidak dikomunikasikan dengan pemilik perusahaan, karyawan bisa mendapat masalah. Solusinya, karyawan bisa meminta waktu kerja fleksibel, selain meminta keterangan dari dokter.
Dalam opini Harris, munculnya bentuk disabilitas baru yang tersebar luas itu adalah kesempatan bagi pemberi kerja untuk menggagas sejumlah inovasi. Misalnya, meninjau lagi tempat kerja agar memadai bagi karyawan, baik dalam hal melakukan bisnis dan menyatukan karyawan di lingkungan kerja.
Dia merekomendasikan pengusaha menginvestasikan banyak waktu untuk menentukan apakah seorang karyawan memenuhi syarat untuk bekerja dari rumah, dan apakah waktu itu dapat dihabiskan dengan lebih baik. Begitu pula cara memupuk iklim saling percaya dan saling menghormati di perusahaan.
Pengusaha juga dapat menyediakan peralatan kerja yang ergonomis dan waktu kerja yang lebih fleksibel guna meningkatkan moral dan produktivitas untuk semua pegawai. "Pertanyaannya, bagaimana pengusaha ingin mengalokasikan waktu dan uang ke depan?" ucap Harris.