Kamis 09 Jun 2022 20:08 WIB

MUI Paparkan Strategi Penanganan Ekstremisme di Lembaga Fatwa Mesir

MUI menawarkan kerja sama lintas negara untuk tangani ekstremisme terorisme

Rep: Muhyiddin/ Red: Nashih Nashrullah
Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) MUI Bidang Fatwa, KH Ahmad Fahrur Rozi Burhan (pertama kiri),  menawarkan kerja sama lintas negara untuk tangani ekstremisme terorisme
Foto: Dok Istimewa
Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) MUI Bidang Fatwa, KH Ahmad Fahrur Rozi Burhan (pertama kiri), menawarkan kerja sama lintas negara untuk tangani ekstremisme terorisme

REPUBLIKA.CO.ID, KAIRO – Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) MUI Bidang Fatwa, KH Ahmad Fahrur Rozi Burhan, menyampaikan pidato tentang peran ulama dalam mencegah terorisme dan ekstremisme dalam acara konferensi internasional yang digelar di Hotel Almasa Naser City, Kairo, Mesir pada 7-9 Juni 2022. Konferensi ini mengangkat tema “Ekstremisme Agama: Awal Pemikiran dan Strategi Perlawanan” 

Dalam konferensi yang digelar Pusat Studi Ekstremisme “SALAM” Darul Ifta’ Mesir ini, Kiai yang akrab dipanggil Gus Fahrur tersebut menyampaikan pidatonya dalam bahasa Arab. Konferensi internasional fatwa ini juga dihadiri mufti dan pejabat setingkat Kementerian Agama dari 48 negara sedunia. 

Baca Juga

"Saya mewakili MUI berbicara tentang topik peranan ulama dalam mencegah terorisme dan ekstremisme," ujar Gus Fahrur kepada Republika.co.id, Kamis (9/6/2022). 

Dalam pidatonya, Gus Fahrur menjelaskan tentang fase terorisme yang terjadi di Indonesia dari masa lalu hingga saat ini. Dia juga mengungkapkan adanya gerakan teroris di Indonesia, seperti gerakan teroris NII, gerakan Jamaah Islamiyah, dan gerakan Anshorut Daulah.  

Setelah itu, barulah dia menuturkan tentang peranan ulama di Indonesia dalam mencegah terorisme dan ekstremisme, khususnya yang tergabung dalam MUI. "MUI ikut berperan penting dalam penanggulangan teror dalam bentuk langkah soft approach, yaitu dakwah, dialog, dan diskusi intensif dengan berbagai kelompok masyarakat," ucap dia. 

Menurut Gus Fahrur, langkah tersebut lebih diutamakan sebelum pendekatan kekuasaan bersenjata atau hukum, dan terbukti berhasil menarik banyak mantan anggota kelompok teroris untuk mencabut baiat kepada kelompoknya dan kembali ke pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). 

"MUI ikut berperan aktif membina persatuan umat Islam dan melawan terorisme dan radikalisme agama, salah satunya dalam bentuk Fatwa MUI tentang Terorisme nomor 3 tahun 2004 lahir berdasarkan pembahasan masalah terorisme akibat runtutan kejadian bom bunuh diri," kata dia.  

Dalam fatwa anti terorisme tersebut, menurut Gus Fahrur, MUI secara tegas membedakan antara terorisme dengan jihad. Dalam diktum fatwa tersebut disebutkan bahwa terorisme adalah tindakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban yang menimbulkan ancaman serius terhadap kedaulatan negara, bahaya terhadap keamanan, perdamaian dunia serta merugikan kesejahteraan masyarakat.  

"Terorisme adalah salah satu bentuk kejahatan yang diorganisasi dengan baik (well organized), bersifat transnasional dan digolongkan sebagai kejahatan luar biasa (extra-ordinary crime) yang tidak membeda-bedakan sasaran (indiskrimatif)," jelas Gus Fahrur.  

Seperti sebuah pohon, lanjut dia, upaya mengatasi terorisme dan radikalisme tidak bisa dilakukan hanya dengan menebang dahan ataupun batang pohon tersebut. Karena, meskipun dahan atau batang pohon tersebut ditebang, nantinya akan tetap tumbuh kembali.  

"Untuk mengatasi terorisme dan radikalisme perlu dilakukan upaya sungguh-sungguh untuk memberantas hingga ke akarnya. Maka penting untuk diketahui apa yang menjadi akar dari radikalisme dan terorisme itu sendiri," ujar dia.  

Menurut dia, MUI juga telah bekerjasama dalam penanggulangan terorisme dan radikalisme dengan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dengan membentuk Badan Penanggulangan Ekstremisme dan Terorisme (BPET). 

Di akhir pidatonya, Gus Fahrur kemudian memberikan lima rekomendasi yang bisa menjadi bahan pertimbangan dalam konferensi internasional tersebut. Pertama, peserta konferensi harus memberikan pemahaman utuh kepada masyarakat akan arti dan bahaya radikalisme dan terorisme.  

Kedua, perlu adanya fatwa yang dapat mencakup larangan segala bentuk tindakan atau perbuatan terorisme. Ketiga, perlu adanya pembuatan buku, modul dan artikel tentang pentingnya wawasan persatuan kebangsaan, kesalahan terminologi khilafah, taghut dan radikalisme untuk memberikan pemahaman yang komprehensif kepada umat Islam.  

Rekomendasi keempat, meningkatkan kesadaran dan diseminasi fatwa kepada publik dengan berbagai macam media. "Sedangkan yang kelima, membuat daftar kelompok terorisme di setiap negara secara berkala untuk memberikan pemahaman dan pencegahan kepada umat Islam," jelas Gus Fahrur yang juga Pengasuh Ponpes Annur 1 Bululawang Malang ini.     

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement