REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Industri perunggasan Indonesia saat ini mendapatkan tantangan berupa biaya pakan dari negara pengekspor komoditas. Sehingga diperlukan berbagai upaya agar status negara dengan swasembada daging ayam dan memiliki kecenderungan surplus ini, tetap dapat dipertahankan.
"Bahan pakan sebanyak 65 persen berasal dari lokal dan 35 persen impor. Harga jagung dan kedelai ditentukan secara internasional tetapi cenderung meningkat bagi produsen Indonesia," kata Guru Besar Ilmu Ekonomi Pembangunan IPB Prof Arief Darjanto, saat tanya jawab dalam konferensi pers orasi ilmiah secara virtual di Bogor, Jawa Barat, Kamis (9/6/2022).
Arif menyampaikan, selain pakan, yang kedua adalah skala produksi yang cukup kecil membuat industri perunggasan rentan terhadap negara-negara pengekspor yang mengeksploitasi skala ekonomi. Selain itu, peternak unggas nasional cenderung memotong ayam pedaging dengan bobot yang lebih rendah dibandingkan rata-rata dunia.
Selanjutnya yang ketiga, kata Komisaris PT Bogor Life Science and Technology (BLST) IPB itu, ketidakmampuan untuk mengekspor meskipun saat ini Indonesia telah berswasembada daging ayam dan memiliki kecenderungan surplus. Ketidakmampuan ekspor karena belum ada sistem yang diperlukan untuk memenuhi persyaratan sanitasi dan fitosanitasi pasar ekspor.
Tantangan keempat, daya saing industri perunggasan nasional dihadapkan masih ada pasokan produksi yang diimpor dan ancaman masuknya daging ayam dari luar negeri. Akan tetapi di sisi lain, menurut Arief, tantangan kelima, kecenderungan konsumsi masyarakat Indonesia yang lebih memilih daging ayam segar dibandingkan dengan daging beku.
Kemudian tantangan keenam ialah kinerja rantai nilai belum menghasilkan manfaat yang memahami kebutuhan bagi mitra yang terlibat terutama bagi para peternak skala kecil. Ditambah dengan tantangan ketujuh, persoalan perbedaan informasi yang didapat antara salah satu pihak (asymmetric information).
Padahal, kata dia, industri perunggasan merupakan pasar yang tetap menarik yang atraktif karena potensinya dalam konsumsi, nilai transaksi pasar yang besar, baik untuk bisnis, baik dalam era sebelum dan setelah pandemi. "Industri yang menarik ini didorong oleh kebutuhan yang lebih tinggi dengan permintaan yang kuat dalam konsumsi protein karena setelah pandemi masyarakat ingin hidup yang lebih peduli dengan imunitas kesehatan," jelasnya.