REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Slamet Tuharie | Manajer Pendistribusian NU CARE-LAZISNU
Pasca melandainya kasus COVID-19 di berbagai daerah di Indonesia, kegiatan ibadah umat Islam dan umat beragama lainnya kini berangsur-angsur kembali menuju normal. Begitu pula dengan aktivitas ekonomi, pendidikan, dan aktivitas lainnya yang perlahan tapi pasti mulai bangkit kembali. Termasuk ibadah haji yang tahun ini digelar kembali meski dengan kuota yang masih terbatas, hanya sekitar 1 juta Jemaah haji pada 2022. Jumlah ini tentu terlihat kecil jika dibandingkan dengan jumlah jama’ah haji tahun 2019 yang mencapai hampir 2,5 juta jemaah.
Beda halnya dengan ibadah haji yang mulai berjalan dengan normal, ibadah qurban yang merupakan ritual umat Islam yang digelar setiap idul adha justru menemukan tantangan baru. Jika pada dua tahun ke belakang, tantangan pelaksanaan qurban terletak pada proses pelaksanan ibadah qurban sendiri yang membutuhkan penerapan protokol kesehatan dalam rangka mencegah penyebaran virus COVID-19, maka pada qurban tahun ini, masalahnya justru muncul pada hewan yang akan dijadikan qurban. Hal ini setelah adanya temuan soal kasus penyebaran Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) atau yang disebut dengan Foot and Mooth Disease yang terjadi pada sapi dan kambing.
Dengan kata lain, jika pada dua tahun sebelumnya, tantangan qurban ada pada sisi teknis pelaksanaan, maka saat ini kita dihadapkan pada sisi hewannya itu sendiri. Meski demikian, dengan adanya temuan kasus PMK pada hewan qurban, bukan berarti ibadah qurban tahun ini ditiadakan. Ibadah qurban tetap boleh dilaksanakan, tentu dengan prinsip kehati-hatian dalam menentukan hewan serta memastikan hewan qurban yang disembelih dalam kondisi sehat dan memenuhi syarat. Majelis Ulama Indonesia, dalam fatwanya telah menjelaskan bahwa jika hewan yang terkena PMK mengalami gejala klinis kategori ringan, seperti lepuh ringan pada celah kuku, kondisi lesu, tidak nafsu makan, dan keluar air liur lebih dari biasanya hukumnya sah dijadikan hewan qurban.
Namun, jika hewan yang terkena PMK tersebut mengalami gejala klinis kategori berat seperti lepuh pada kuku sampai terlepas, pincang, tidak bisa berjalan, dan menyebabkan sangat kurus, maka hukumnya tidak sah untuk dijadikan hewan kurban. Hal ini tentu dapat dipahami secara mudah mengingat salah satu syarat hewan yang dijadikan qurban adalah hewan yang dalam kondisi sehat yang salah satunya dapat dilihat dari kondisi fisiknya.
Dari sisi teknis, Kementerian Pertanian RI melalui Surat Edaran Nomor: 03/SE/PK.300/M/5/2022 telah memberikan panduan qurban dan pemotongan hewan dalam situasi wabah mulut dan kuku (PMK). Dalam surat edaran tersebut, pemerintah telah membuat panduan lengkap tentang pemilihan hewan qurban, pengolahan hewan qurban, hingga pendistribusiannya. Tentu ini adalah hal yang sangat baik yang telah dilakukan oleh pemerintah sebagai upaya untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan dalam pelaksanaan ibadah qurban.
Prinsip Kesehatan dalam Qurban
Dalam ibadah qurban, diketahui bersama bahwa hewan qurban haruslah dalam kondisi sehat. Salah satu cirinya ditandai dari kondisi fisik yang sempurna (tidak cacat) pada hewan tersebut. Namun, selain itu, menurut saya ada hal lain yang tak kalah penting soal kata ‘sehat’ dalam ibadah qurban. Paling tidak ada tiga prinsip sehat yang menurut saya perlu didengungkan dalam ibadah qurban di tengah tantangan PMK dan transisi menuju endemic COVID-19, yaitu: sehat hewannya, sehat pelaksanannya, dan sehat konsumsinya.
Tiga hal ini penting untuk diperhatikan agar qurban benar-benar aman, baik dari sisi syari’at maupun aman dari sisi kesehatan penerima manfaat daging hewan qurban.
Pertama, sehat hewannya. Sudah barang tentu, hewan yang akan dijadikan qurban sesuai dengan ketentuan syariat adalah hewan yang sehat fisiknya, yang ditandai dengan kesempurnaan fisik dan fungsinya. Namun demikian, ada beberapa cacat hewan yang tidak menghalangi sahnya ibadah qurban, yaitu hewan yang dikebiri dan hewan yang pecah tanduknya. Adapun cacat hewan yang putus telinga atau ekornya, tetap tidak sah untuk dijadikan qurban.
Prinsip sehat hewannya, juga tentu diartikan bahwa hewan yang dijadikan qurban terbebas dari berbagai penyakit, seperti terjangkit PMK yang masuk dalam kategori berat sehingga menjadikan qurban yang dilakukan tidak sah. Oleh karena itu, prinsip sehat hewannya menjadi awal dari prinsip sehat dalam berqurban adalah hal yang harus dipastikan terlebih dahulu dalam rangka mendapatkan keutamaan dan sahnya ibadah qurban.
Kedua, sehat pelaksanannya. Dengan mempertimbangkan kondisi masa transisi menuju endemi COVID-19 dan meminimalisir penularan PMK, pelaksanaan qurban juga harus dilaksanakan dengan prinsip sehat. Artinya, pemilihan lokasi penyembelihan yang baik, prosesi penyembelihan, hingga distribusi hewan qurban juga tetap dengan mempertimbangkan prinsip-prinsip menjaga kesehatan. Hal ini dilakukan dalam rangka meminimalisir terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan terkait dengan pelaksanaan ibadah qurban. Peningkatan COVID-19 misalnya, atau hal lain yang tidak diinginkan.
Ketiga, sehat konsumsinya. Prinsip ketiga ini adalah hal yang sangat urgen yang harus disosialisikan oleh seluruh pihak, terutama pemerintah dan lembaga-lembaga pengelola qurban. Dalam Surat Edaran Nomor: 03/SE/PK.300/M/5/2022 yang diterbitkan oleh Kementerian Pertanian RI misalnya, jelas soal pengolahan hewan qurban ini menjadi salah satu fokusnya. Artinya, masyarakat harus diingatkan bahwa daging hewan qurban yang diterima harus diolah dengan baik dan tepat agar dapat meminimalisir terjadinya risiko transmisi penyakit dari hewan qurban ke manusia.
Ketiga prinsip di atas agaknya menjadi penting untuk didengungkan saat ini agar masyarakat tak perlu ragu untuk melaksanakan ibadah qurban dan tak perlu was-was menerima daging hewan qurban. Artinya, dalam beribadah pun kita harus senantiasa menyertainya dengan prinsip kehati-hatian dan kewaspadaan agar ibadah yang kita jalankan menjadikan maslahah baik untuk kita pribadi maupun untuk masyarakat umum