Mantan Menteri Pendidikan: Jangan Jadi Kampus Stunting
Red: Fernan Rahadi
Prof Mohammad Nuh | Foto: Humas Unissula
REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Indonesia kini memiliki lebih dari 4.500 perguruan tinggi se-Indonesia. Sayangnya, belum semua kampus tersebut memiliki kualitas yang baik dan pendaftar yang mencukupi. Mantan Menteri Pendidikan Nasional Prof Mohammad Nuh menyebut kampus-kampus tersebut sebagai kampus stunting.
Dalam Webinar Sevima yang dihadiri lebih dari 9.000 Rektor dan Dosen se-Indonesia pada Kamis (8/6/2022) sore, Prof Mohammad Nuh mengajak kampus untuk terus meningkatkan diri dan jumlah mahasiswa. Jangan sampai, kampus ‘hidup enggan mati pun tak mau’. Karena, masyarakat Indonesia yang butuh berkuliah jumlahnya juga tak sedikit.
"Ada tiga jenis kampus: Pertama, kampus yang baru didirikan langsung bertemu ajalnya. Kedua, kampus stunting yang hidup enggan mati tak mau. Ketiga, kampus yang berkembang. Tentu kita ingin kampus di Indonesia berkembang dan bisa mencerdaskan kehidupan bangsa, bukan jadi kampus stunting, atau biasa orang jawa bilang kuntet. Karena Angka Partisipasi Kasar (jumlah anak Indonesia yang berkuliah) baru 30 persen, masih jutaan masyarakat belum berkesempatan kuliah," ungkapnya dalam siaran pers yang diterima Republika, Ahad (12/6/2022).
Agar kampus terhindar dari kondisi stunting, Nuh membagikan beberapa tips agar kampus bisa terus meningkatkan kualitas dan memiliki jumlah mahasiswa sesuai target. Pertama membangun imej kampus Agar kampus bisa tumbuh berkembang. Dibutuhkan sebuah imej atau citra yang bagus dari kampus tersebut.
Karena tak jarang, ada kampus yang kualitasnya sangat baik, tapi belum diketahui masyarakat luas. Sebaliknya, ada pula kampus yang kualitasnya kurang baik tapi populer di masyarakat karena banyak melakukan pencitraan.
“Pencitraan itu baik. Namun pencitraan yang bagus harus disertai dengan substansi yang bagus pula. Hal ini juga berlaku bagi kampus, jadi antara pencitraan agar dikenal masyarakat, dan meningkatkan kualitas, harus seimbang," jelas Nuh yang juga pakar komunikasi dalam kapasitasnya sebagai eks Menteri Komunikasi dan Informasi (Menkominfo) dan mantan Ketua Dewan Pers.
Kedua, tonjolkan keunikan kampus untuk memiliki kampus dengan jumlah mahasiswa yang banyak tak harus menjadi yang terbaik. Namun bisa dengan memiliki spesialisasi di bidang tertentu.
Nuh mencontohkan kepemimpinannya di Yayasan Rumah Sakit Islam Surabaya, yang memiliki kampus swasta bernama Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya (UNUSA). Pada Juni ini saja, kapasitas UNUSA sudah terisi 40 persen. Padahal, kampus-kampus negeri favorit di Surabaya, jumlahnya tak sedikit.
"Saya juga mengelola kampus swasta, yaitu di Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya. Untuk berkompetisi, kampus dan mahasiswa tak harus menjadi yang terbaik di semua bidang. Tapi kampus Anda bisa memiliki spesialisasi di bidang tertentu. Kampus juga tidak perlu membeda-bedakan status negeri dan swasta. Karena semua itu ada pasarnya masing-masing," kata Nuh.
Ketiga, jangan fokus bersaing dalam jumlah mahasiswa. Jumlah mahasiswa yang banyak di suatu kampus, memang menjadi harapan banyak pimpinan dan civitas akademika kampus. Banyaknya mahasiswa bisa jadi indikator kebesaran dan popularitas kampus.
Walaupun demikian, Nuh berpesan agar kampus tidak berfokus pada mengejar kuantitas jumlah mahasiswa. Karena kuantitas jumlah, hanyalah salah satu indikator kualitas saja yaitu bersifat input base (masukan). Kampus juga bisa besar dan populer, jika kualitas lulusannya bagus dan berperan luas di masyarakat. Karena alumni menurut Nuh adalah juru kampanye terbaik. Semakin sukses alumni suatu kampus, maka semakin mudah kampus dikenal masyarakat dan mendapatkan calon mahasiswa yang berkualitas.
"Sehingga untuk mendapatkan hasil yang maksimal, Anda bisa menggunakan outcome base (orientasi luaran). Anda boleh mencari mahasiswa dalam jumlah banyak, namun perlu diingat bahwa meningkatkan kualitas juga diperlukan. Promosi oleh alumni, jauh lebih efektif dibanding baliho," katanya.