REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kemesraan yang ditunjukkan PKB-PKS mulai tampak saat Milad PKS (29/5/2022) ketika Ketua Umum PKB, Muhaimin Iskandar atau Cak Imin diberi panggung untuk bicara. Cak Imin pun mendapat respon positif dari kader dan para pengurus PKS setelah secara epik membawa narasi Islam Rahmatan Lilalamin untuk mewadahi tujuan dari koalisi yang digagas.
Direktur Eksekutif Trias Politika Strategis, Agung Baskoro menilai, sinyal kedekatan kedua partai Islam ini bisa saja mengisyaratkan ada peluang akan berkoalisi. Apalagi dengan kondisi terbentuknya Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) dimana kedua partai PKB dan PKS belum tergabung di dalamnya.
Usai acara Milad PKS lalu kedekatan kedua partai kembali mengkristal ketika pengurus teras keduanya, yakni PKS diwakili Sekjen, Aboe Bakar AlHabsyi bertemu dengan Jazilul Fawaid, Wakil Ketua Umum PKB, dalam agenda “Gagasan poros koalisi PKS-PKB”, di Kompleks DPR/MPR (9/6/2022).
"Baik bagi PKS maupun PKB, langkah ‘perkawinan siri’ ini penting untuk meningkatkan posisi tawar (bargaining position) keduanya agar kelak mampu menarik perhatian mitra koalisi lainnya," kata Agus, Ahad (12/6/2022).
Menurut dia, keduanya perlu menarik perhatian partai lain, masuk ke koalisi karena poros yang digagas masih belum cukup atau kurang. Diperlukan satu partai lagi agar ambang batas (presidential threshold) bisa terpenuhi dalam Pilpres 2024.
\"Di sisi PKB manuver ke KIB yang digagas Golkar-PAN-PPP masih bertepuk sebelah tangan, karena PKB membawa syarat Cak Imin harus Capres. Sementara komunikasi ke partai lainnya menemui jalan buntu menimbang Gerindra, sudah solid mendukung Prabowo, sebagaimana PDIP masih tarik-ulur mendukung Ganjar atau Puan,\" jelasnya.
Dari realitas politik di atas berikutnya hanya menyisakan Nasdem, Demokrat, dan PKS sebagai calon mitra koalisi potensial. Dalam konteks Nasdem, keputusan Capres akan ditentukan oleh Rakernas 15-17 Juni 2022 nanti, sementara Demokrat masih menunggu momentum yang tepat untuk mengumumkannya.
Di titik inilah, menurut dia, PKS menjadi mitra penting bagi PKB, karena membuka diri tanpa ada syarat selain soal kesamaan platform (common sense). Dan di saat bersamaan PKB mulai realistis untuk tak lagi membawa agenda Cak Imin harus Capres karena prioritas membentuk koalisi lebih utama.
\"Bagi PKS, kehadiran PKB melengkapi kebutuhan partai agar bisa mulai bergerak strategis ke koalisi manapun setelah memilih jalan oposisi selama dua periode pemerintahan Presiden Jokowi,\" ujarnya.
Artinya, sebut Agus, jangan sampai momentum 2024 tak direspon secara aktif oleh PKS untuk mencegah partai ini hanya kembali menjadi ‘korban’ atau ‘dikorbankan’ secara politik. Karena itu, koalisi PKB-PKS menjadi awalan positif karena dibangun dari kisah historis manis keduanya dahulu.
Sebagaimana diketahui lewat Poros Tengah sejak awal Reformasi, kekuatan politik ini mampu membalik konstelasi politik nasional. Ketika menghantarkan Presiden Gus Dur dan Presiden SBY mengalahkan Capres dari PDIP.
\"Dalam konteks sosial-geografis, basis massa PKB didominasi kalangan Islam perdesaan, sebaliknya basis massa PKS sebagai besar adalah Islam perkotaan adalah basis massa loyal dan militan,\" imbuhnya.
Kedua konteks tadi, menurut dia, selama ini telah terbukti mampu menghantarkan PKB dan PKS sebagai partai tengah yang senantiasa dibutuhkan oleh mitra koalisi manapun.
Aspirasi publik dan kebutuhan elit akhirnya bertemu saat PKB-PKS bersama.
Karena publik menginginkan banyak poros koalisi muncul, untuk menghindari pembelahan sosial lewat pertarungan head to head seperti pemilu sebelumnya. Namun ia menegaskan bila terbentuk poros koalisi baru ini, perlu dibuat narasi-narasi substantif kampanye berkualitas, agar terhindar dari politisasi agama yang justru memecah belah bangsa.