REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hukum suami dan istri yang melakukan kontak setelah wudhu masih menjadi titik perdebatan hari ini. Dalam hal ini, para ulama sering berbeda pendapat.
Aini Aryani dalam bukunya Sentuhan Suami-Isteri, Apakah Membatalkan Wudhu?, mengatakan hubungan suami istri, menurut Imam Syafi'i, batal secara mutlak. Hal ini menunjukkan menyentuh suami atau istri membatalkan wudhu sehingga harus diulang kembali.
Akar perbedaannya ada pada berbedanya ulama dari empat madzhab, Di dalam Alquran:
اَوْ لٰمَسْتُمُ النِّسَاۤءَ فَلَمْ تَجِدُوْا مَاۤءً فَتَيَمَّمُوْا صَعِيْدًا طَيِّبًا
Artinya: “...atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapati air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci)...” (QS. Al-Maidah:6)
Secara harfiyah, ayat tersebut menyatakan menyentuh wanita menyebabkan batalnya wudhu sehingga ia diperintahkan mencari air untuk berwudhu kembali. Jika tidak menemukan air maka diperintahkan untuk bertayammum.
Secara umum ada tiga pendapat. Pertama, yang mengatakan batal secara mutlak, yaitu madzhab Asy-Syafi'iyah. Kedua, yang mengatakan tidak batal secara mutlak, yaitu madzhab Al-Hanafiyah.
Ketiga adalah pendapat yang mengatakan batal apabila ada ketentuan yang terpenuhi dan tidak batal kalau belum terpenuhi. Para ulama fiqih dari madzhab Syafi’i memandang bahwa bersentuhan kulit secara langsung antara laki-laki dan wanita yang bukan mahramnya dapat membatalkan wudhu jika sentuhan itu tidak dihalangi oleh apapun seperti kain, kertas, atau lainnya.
Mazhab Hanafi berpendapat bersentuhan kulit antara laki-laki dan perempuan tidak batal secara mutlaq, baik antarmahram maupun bukan mahram, baik dengan syahwat maupun tidak dengan syahwat. Ulama dari madzhab Maliki dan Hambali berpendapat bahwa yang membatalkan wudhu adalah sentuhan yang disertai syahwat. Maka, sekadar menyentuh saja tidak membatalkan wudhu jika tidak disertai syahwat.