REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Guru Besar Hukum Tata Negara Denny Indrayana mengungkapkan, praktik mafia hukum menghambat kemajuan dunia usaha. Dia turut mencontohkan, bagaimana praktik korupsi dan mafia hukum masih merusak sendi-sendi penegakan hukum.
Hal tersebut diungkapkan Denny dalam perayaan Hari Ulang Tahun ke-50 Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) yang mengangkat tema “Reinsure Legal Certainty as a Fundamental for Economic Growth” pada akhir pekan.
Denny memberi contoh nyata praktik mafia hukum di Kalimantan Selatan (Kalsel) yang merupakan tanah kelahirannya. Dia mengatakan, hampir tiap hari menerima pesan Whatsapp tentang ilegal mining dan penyerobotan lahan yang terjadi di Kalsel.
"Bisa dibayangkan, perbuatan ilegal mining sama seperti mencuri di siang bolong. Ketika orang menjarah batubara di wilayah izin yang sah, tidak mungkin dilakukan dengan cangkul. Tentu yang digunakan adalah puluhan alat berat seperti excavator dan truk-truk besar," kata Denny dalam keterangan pers yang dikutip Republika pada Senin (13/6).
Denny meyakini, menuntaskan praktik mafia tambang di Kalsel bukan perkara sulit. Tetapi kehadiran mafia hukum, menurutnya, menyebabkan aksi tersebut sulit diberantas.
"Tidak sulit, bahkan terlalu mudah bagi aparat penegak untuk menangkap dalang dan pelakunya. Namun faktanya, tidak demikian. Mafia hukum telah memberi 'tip" kepada oknum penegak hukum kita, sehingga ilegal mining dan penyerobotan lahan berkembang biak dan sangat sulit dihentikan," ujar Denny.
Denny juga menceritakan ketika mafia peradilan menjelma menjadi mafia hukum. Saat itu, Denny mengingat, Presiden keenam RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pernah mengatakan praktik mafia bukan pada tataran penegakan hukum saja, melainkan praktik mafia ini telah terjadi sejak pembuatan hukumnya atau proses legislasi.
"Sehingga tindak tanduk mereka tidak hanya sesempit lingkup pengadilan, melainkan lebih luas hingga penyusunan suatu undang-undang," ucap Denny.
Hal inilah yang menginspirasi pembentukan Satgas Pemberantasan Mafia Hukum di era Presiden SBY. Sayangnya, Satgas ini hanya bertahan 2009-2011 dan tidak dilanjutkan.
"Karena dinamika politik yang cenderung dipengaruhi kelompok yang merasa bisnisnya telah terganggu," ungkap Denny.
Selain itu, Denny menyinggung, pemberantasan korupsi di masa kepemimpinan KPK terbaru. Menurutnya, KPK justru kian pudar taringnya karena terkungkung kekuatan oligarki.
"KPK hari-hari ini ibarat hidup enggan, mati pun tak mau. KPK telah dilumpuhkan melalui perubahan undang-undang dan intervensi kekuatan oligarki," tutur mantan Wamenkumham itu.
Menurutnya, kecenderungan ini yang semakin mendegradasi pemberantasan korupsi. Contoh lain, pembatalan PP 99/2012 oleh Mahkamah Agung, dimana aturan tersebut memuat pengetatan pemberian remisi bagi narapidana korupsi. Padahal seluruh pengujian PP tersebut sempat selalu ditolak di MK dan MA.
"Namun pada 2021 silam, MA beralih sikap dan membatalkan keberlakuan beleid ini," ucapnya.
Di samping itu, kabar maraknya pemotongan hukuman kian mengemuka di MA sejak meninggalnya Hakim Agung Artidjo Alkostar. "Indikator ini akan membuka mengantarkan kembali pada masa-masa suram pemberantasan korupsi," tegas Denny.