REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) akan menerapkan bea meterai pada e-commerce. Adapun rencana ini dengan syarat dan ketentuan tertentu, transaksi belanja di atas Rp 5 juta.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu Febrio Kacaribu mengatakan landasan hukum mengenai bea meterai digital ini tertuang dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2020 tentang Bea Meterai. Dalam beleid tersebut, transaksi digital yang dikenakan bea meterai atau e-meterai yaitu yang memiliki nilai di atas Rp 5 juta.
“Saat ini kita sedang kaji ya, harusnya belanja besar saja,” ujarnya kepada wartawan, Senin (13/6/2022).
Menurutnya pengenaan bea meterai Rp 10.000 pada e-commerce merupakan hal yang wajar. Apalagi, minimal transaksi belanjanya tergolong besar, yakni Rp 5 juta, sehingga penerapan bea meterai tak akan mengganggu masyarakat secara luas.
“Tapi kan ada batas minimumnya, harusnya tidak akan berpengaruh. Tapi kalau yang ingin kita lihat formalitasnya, kalau makin besar (belanjanya), ya formalitas juga makin kuat. Ya wajar dong untuk bayar meterai, nggak apa-apa," paparnya.
Febrio juga memastikan, hal ini tidak akan mengganggu ekosistem digital. “Tidak ganggu (ekosistem digital). Itu kan ada minimumnya, jadi harusnya tidak mengganggu,” ucapnya.
Adapun target penerimaan kepabeanan dan cukai pada tahun ini sebesar Rp 245 triliun. Hal ini terdiri atas penerimaan cukai sebesar Rp 203,92 triliun dan bea masuk Rp 35,16 triliun dan bea keluar Rp 5,92 triliun.
Pemerintah memperkirakan penerimaan perpajakan 2023 akan berada pada rentang Rp 1.884,6 triliun sampai Rp 1.967,4 triliun. Perkiraan penerimaan perpajakan dari Panja Komisi XI DPR tercatat lebih tinggi Rp 10,6 triliun dari batas atas proyeksi pemerintah.
Menurutnya pemerintah menargetkan rasio perpajakan atau tax ratio tahun depan mencapai 9,3 persen sampai 10 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Adapun target ini telah disepakati antara Kemenkeu bersama Badan Anggaran (Banggar) DPR RI dalam Rapat Panja terkait RAPBN 2023 dan berubah dari usulan Komisi XI DPR RI sebelumnya yang sebesar 9,45 sampai 10 persen.
“Ini sekaligus menjadi cerminan betapa kita semua, Komisi XI dan Banggar bisa melihat secara jeli adanya ketidakpastian,” ucapnya.
Febrio menyebut target rasio perpajakanjuga sedikit berbeda dari yang ditentukan dalam Kerangka Ekonomi Makro (KEM) dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (PPKF) 2023 sebesar 9,3 persen sampai 9,59 persen. Menurut dia disepakatinya batas bawah tax ratio sebesar 9,3 persen mencerminkan masih adanya ketidakpastian dan dinamika global.
Sementara disepakatinya batas atas rasio perpajakan sebesar 10 persen mencerminkan efektivitas Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) dan optimisme pemerintah.