REPUBLIKA.CO.ID,BANDUNG—Baru-baru ini Indonesia digemparkan dengan penangkapan pendiri kelompok pendukung ideologi khilafah, yang menamakan diri sebagai Khilafatul Muslimin. Kelompok yang berusaha menggantikan ideologi Pancasila itu bahkan telah masuk ke banyak wilayah, mulai dari Jakarta, Medan, Surabaya, Semarang, Cimahi, dan beberapa wilayah lain.
Untuk mengantisipasi meluasnya penyebaran Khilafatul Muslimin, Ketua Mejelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Bandung KH Miftah Barid mengingatkan seluruh umat Muslim Indonesia, khususnya di Kota Bandung, untuk senantiasa berkomitmen dengan nilai-nilai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Menurutnya, apa pun aliran yang diyakini, sudah sepatutnya dapat menyesuaikan dengan aturan yang berlaku di Indonesia.
“Jadi himbauan kami, mari kita memperjuangkan dan menegakkan dakwah Islam, sekaligus terus berpegang terus pada asas NKRI,” ujar KH Miftah saat ditemui Republika di Kantor MUI Kota Bandung, Selasa (14/06/2022).
Dia juga mengingatkan bahwa Islam adalah agama yang rahmatan lil alamin, dan agama yang menjunjung tinggi kasih sayang dan menerima segala perbedaan. “Sebagai Muslim Indonesia, mari kita berkomitmen pada ajaran Al-Quran dan Sunnah dan terus berpegang teguh pada dasar-dasar pancasila,” sambungnya.
Sejauh ini, Polda Metro Jaya telah menangkap lima petinggi dan anggota Khilafatul Muslimin di Bandar Lampung, Bekasi dan Medan. Orang yang pertama kali ditangkap adalah pemimpin tertinggi Khilafatul Muslimin, Abdul Qadir Hasan Baraja di Lampung pada Selasa (7/6/2022). Lalu empat orang berinisial AA, IN, F, dan SW ditangkap di Lampung, Medan, dan Bekasi.
Selain menangkap empat orang, kata Zulpan, pihaknya juga menyita sejumlah barang bukti. Mulai dari berupa selebaran maklumat terkait khilafah, buku, buletin, majalah serta atribut kelompok Khilafatul Muslimin hingga uang miliaran rupiah. Bahkan uang yang diamankan mencapai Rp 2,3 miliar.
Akibat perbuatannya, keempat anggota Khilafatul Muslimin ini sudah ditetapkan sebagai tersangka. Mereka disangkakan dengan Pasal 59 ayat 4 dan 82 ayat 1 UU Nomor 16 Tahun 2017 tentang Ormas. Kemudian pasal 14 ayat 1 dan 2, dan atau pasal 15 UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dengan ancaman penjara minimal lima tahun dan maksimal 20 tahun penjara.