REPUBLIKA.CO.ID, AMMAN -- Sebelum meninggalkan rumahnya di pinggiran kota Damaskus pada 2014 ke Yordania, Narjas Kilani jarang pergi ke pasar untuk membeli barang. Bersama dengan anggota keluarganya, dia mengolah setengah hektare tanah di dekat bangunan mereka di Otaybah di Ghouta Timur, sebuah hamparan lahan pertanian tua dan pusat kota di timur Damaskus.
“Kami bukan petani, tetapi pertanian sudah mendarah daging dalam masyarakat Ghouta. Kami memiliki sumur dan tanah di sebelah rumah kami yang menyediakan hampir segalanya untuk kami,” ujarnya.
Ghouta Timur bangkit beberapa hari setelah demonstrasi damai menentang lima dekade kekuasaan keluarga Assad pecah di Suriah selatan pada Maret 2011. Setelah penindasan kejam rezim, revolusi menjadi militer, dan pada akhir tahun, terjadi perang saudara.
Kilani melarikan diri ke Yordania bersama keempat anaknya tak lama setelah pasukan keamanan Suriah menculik suaminya, seorang asisten insinyur, ketika mereka berada di dalam mobil yang berhenti di penghalang jalan di Ghouta. Setelah suaminya menghilang, Kilani membayar penyelundup untuk membawanya dan keempat anaknya ke Yordania.
Dia akhirnya tinggal di sebuah gedung lima lantai di lingkungan sederhana di utara Amman. Bangunan itu menampung 25 wanita Suriah (kebanyakan janda) dan 80 anak mereka.