REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan akan menarik bea meterai Rp 10 ribu bagi pelanggan platform digital. Adapun pengenaan ini mencakup belanja online pada e-commerce dengan transaksi pembelian di atas Rp 5 juta.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Kementerian Keuangan Neilmaldrin Noor mengatakan aturan ini tertuang pasal 1 angka 2 UU Bea Meterai terkait jenis dokumen yang dikenai bea meterai yaitu dapat berbentuk tulisan tangan, cetakan, maupun dokumen elektronik.
“Pengenaan bea meterai terhadap dokumen elektronik bertujuan untuk menciptakan level of playing field, sehingga dapat menjaga kesetaraan dalam berusaha bagi para pelaku ekonomi digital dan konvensional,” ujarnya ketika dihubungi Republika, Selasa (14/6/2022).
Menurutnya pengenaan bea meterai bukan merupakan jenis pajak baru, sehingga diharapkan tidak akan berimbas terhadap ekonomi digital.
Sebelumnya Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu mengatakan landasan hukum mengenai bea materai digital ini tertuang dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2020 tentang Bea Meterai. Dalam beleid tersebut, transaksi digital yang dikenakan bea meterai atau e-meterai yaitu yang memiliki nilai di atas Rp 5 juta.
“Saat ini kita sedang kaji ya, harusnya belanja besar saja,” ujarnya kepada wartawan, Senin (13/6/2022).
Menurutnya pengenaan bea meterai Rp 10.000 pada e-commerce merupakan hal yang wajar. Apalagi, minimal transaksi belanjanya tergolong besar, yakni Rp 5 juta, sehingga penerapan bea meterai tak akan mengganggu masyarakat secara luas.
“Tapi kan ada batas minimumnya, harusnya tidak akan berpengaruh. Tapi kalau yang ingin kita lihat formalitasnya, kalau makin besar (belanjanya), ya formalitas juga makin kuat. Ya wajar dong untuk membayar meterai, tidak apa-apa," pungkasnya.
Febrio juga memastikan, hal ini tidak akan mengganggu ekosistem digital. “Tidak ganggu (ekosistem digital). Itu kan ada minimumnya, jadi seharusnya tidak mengganggu,” ucapnya.