Rabu 15 Jun 2022 16:36 WIB

Warga Pakistan Diminta Kurangi Minum Teh karena Krisis Ekonomi

Pakistan, importir teh terbesar di dunia itu kini tengah bergulat dengan inflasi.

Rep: Fergi Nadira/ Red: Friska Yolandha
Seorang buruh upahan minum teh di sebuah pasar di Kolombo, Sri Lanka, Jumat, 10 Juni 2022. Krisis ekonomi di Pakistan membuat warganya didesak untuk mengurangi minum teh.
Foto: AP Photo/Eranga Jayawardena
Seorang buruh upahan minum teh di sebuah pasar di Kolombo, Sri Lanka, Jumat, 10 Juni 2022. Krisis ekonomi di Pakistan membuat warganya didesak untuk mengurangi minum teh.

REPUBLIKA.CO.ID, ISLAMABAD -- Krisis ekonomi di Pakistan membuat warganya didesak untuk mengurangi minum teh. Importir teh terbesar di dunia itu kini tengah bergulat dengan inflasi yang melonjak dan rupee yang terdepresiasi dengan cepat.

Menteri Federal untuk Perencanaan dan Pembangunan Pakistan, Ahsan Iqbal mengatakan bahwa orang Pakistan dapat mengurangi konsumsi teh mereka menjadi satu atau dua cangkir per hari. Sebab impor teh menambah beban keuangan pada pemerintah.

Baca Juga

"Teh yang kita impor, diimpor dengan mengambil pinjaman," kata Iqbal seperti dikutip CNN International, Rabu (15/6/2022). Ia mengatakan bisnis juga harus tutup lebih awal untuk menghemat listrik.

Menurut Observatory of Economic Complexity, negara Asia Selatan berpenduduk 220 juta jiwa itu adalah importir teh terbesar di dunia dengan membeli lebih dari 640 juta dolar AS pada 2020.  Pakistan telah menghadapi tantangan ekonomi yang parah selama berbulan-bulan, yang menyebabkan kenaikan harga makanan, gas dan minyak.

Sementara itu, cadangan mata uang asingnya menurun begitu cepat. Dana yang dipegang oleh bank sentral turun dari 16,3 miliar dolar AS pada akhir Februari menjadi sedikit di atas 10 miliar dolar AS pada Mei. Ini adalah penurunan lebih dari 6 miliar dolar AS dan cukup untuk menutupi biaya dua bulan impornya.

Pengumuman Iqbal menimbulkan berbagai macam reaksi diantara para warganya di media sosial. Ada yang mengatakan, bahwa mengurangi konsumsi teh tidak akan banyak membantu meringankan kesengsaraan ekonomi negara itu.

Krisis ekonomi Pakistan menjadi pusat pertikaian politik antara Perdana Menteri Shehbaz Sharif dan pendahulunya Imran Khan awal tahun ini yang menyebabkan penggulingan Khan pada bulan April. Sharif menuduh Khan tidak becus mengurus ekonomi dan salah menangani kebijakan luar negeri negara itu sehingga memaksa Khan keluar dari jabatannya dalam mosi tidak percaya.

Menghadapi krisis ekonomi yang memuncak telah menjadi tantangan bagi pemerintahan Sharif. Pada Mei, Menteri Informasi Marriyum Aurangzeb  mengatakan, bahwa Pakistan melarang impor barang-barang yang tidak penting dan mewah untuk mengendalikan inflasi yang meningkat, menstabilkan cadangan devisa, memperkuat ekonomi, dan mengurangi ketergantungan negara pada impor.

Sharif pada saat itu mengatakan keputusan tersebut akan menyelamatkan devisa negara yang berharga. Oleh karenanya, Pakistan harus berlatih pada penghematan.

Pada akhir Mei, pemerintah mengangkat batas harga bahan bakar. Ini adalah suatu kondisi untuk melanjutkan kesepakatan pinjaman yang telah lama terhenti dengan Dana Moneter Internasional (IMF). Pekan lalu, pemerintah meluncurkan anggaran baru 47 miliar dolar AS untuk 2022-23 dalam upaya meyakinkan IMF untuk memulai kembali kesepakatan pinjaman 6 miliar dolar AS, yang disepakati oleh kedua belah pihak pada 2019.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement