REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekspor minyak sawit (CPO) mengalami penurunan cukup dalam sepanjang Mei lalu imbas kebijakan larangan ekspor sementara yang ditempuh pemerintah. Kendati demikian, kinerja ekspor sawit diyakini bakal kembali melonjak lantaran tingginya permintaan.
Ekonom Institute for Developmet of Economics and Finance (Indef), Rusli Abdullah, mengatakan minyak sawit berpotensi menjadi sasaran untuk pemenuhan kebutuhan minyak nabati dunia. Itu merupakan dampak dari perang Rusia-Ukraina yang secara tidak langsung menguntungkan bagi Indonesia.
"CPO Indonesia akan menjadi rebutan pasar global di tengah pasokan minyak bungan matahari dari Ukraina yang terkendala," kata Rusli kepada Republika.co.id, Rabu (15/6/2022).
Ia pun optimistis, kinerja ekspor minyak sawit akan kembali normal pada Juli mendatang. Penurunan yang sempat terjadi pada Mei lalu murni akibat larangan ekspor.
Di sisi lain, menyelesaikan masalah minyak goreng di dalam menjadi pekerjaan rumah yang besar bagi Kementerian Perdagangan. Pasalnya, kebijakan larangan ekspor CPO tak akan muncul jika masalah kelangkaan dan tingginya harga bisa teratasi sebelumnya.
Rusli pun meminta kepada menteri perdagangan baru, Zulkifli Hasan agar bisa memastikan minyak goreng aman dan terjangkau sesuai HET Rp 14 ribu per kg. Kendati demikian, ia mengingatkan pemerintah, pergantian menteri perdagangan tidak menjadi jaminan selesainya masalah minyak goreng selama permasalahan utamanya tidak diselesaikan.
"Masalah utamanya adalah eksekusi kebijakan di lapangan dan tidak kalah dengan mafia pangan," kata dia.