Kamis 16 Jun 2022 15:59 WIB

Pemerintah Disarankan Hindari Multitafsir Soal Pasal Ujaran Kebencian dalam RKUHP

Pasal penodaan agama dinilai sebagai salah satu bentuk kriminalisasi.

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Agus raharjo
Mantan ketua Umum YLBHI Asfinawati memberikan keterangan terkait temuan awal pemantauan bersama peristiwa Mei 2019 di Jakarta, Ahad (26/5).
Foto: Republika/Prayogi
Mantan ketua Umum YLBHI Asfinawati memberikan keterangan terkait temuan awal pemantauan bersama peristiwa Mei 2019 di Jakarta, Ahad (26/5).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Koalisi Advokasi untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan menyoroti penerapan pasal ujaran kebencian dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Koalisi menyarankan pemerintah dan DPR memperketat lagi pasal ujaran kebencian agar tidak bersifat multitafsir.

Perwakilan koalisi, Asfinawati menyebut unsur pembuat undang-undang masih gamang soal definisi ujaran kebencian. Ia mencontohkan kejahatan pencurian punya definisi jelas dalam RKUHP sehingga penafsirannya tak melebar.

Baca Juga

"Azas legalias harus ketat unsur-unsurnya. Kalau pasal KUHP tersebut tidak ada penjelasan penodaan agama, kalau pencurian disebutkan mengambil barang milik orang lain tanpa izin. Keketatan hal itu tidak ada dalam penodaan agama," kata Asfin dalam webinar mengenai RKUHP pada Kamis (16/6/2022).

Ia menegaskan pasal penodaan agama adalah salah satu bentuk kriminalisasi. Bahkan menurutnya pasal itu justru membuat korban menjadi pelaku. "Inilah yang menimbulkan korban intoleransi. Pasal penodaan agama justru masifkan intoleransi dan sumber gerakan massa menyerang kelompok minoritas," ujar mantan ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) itu.

Selain itu, Asfin menyinggung pasal terkait penghinaan dalam RKUHP yang dimaksudkan untuk melindungi invididu agar tidak mengalami perendahan martabat. Menurutnya pasal penghinaan itu multitafsir. "Padahal sifat hukum pidana harus ketat ketentuannya jangan multitafsir," ujar Asfin.

Asfin menilai unsur penghinaan ini tergantung orang yang menerima hinaan. Misalnya ada orang yang menganggap sesuatu menghina, tapi ada yang tidak terhina.

"Ini artinya multitafsir dan diskriminatif. Contoh etnis x ada yang merasa terhina dan merasa tidak terhina. Diganti saja agar lebih jelas, yang diatur pernyataannya sendiri berupa hal diskiminatif, mengandung kekerasan. Kalau dimasukkan itu siapapun mereka akan lebih terlindungi dan tidak ada orang yang jadi korban kriminalisasi," tegas Asfin.

Sebelumnya, Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiarej mengatakan hukum harus adaptif terhadap dinamika zaman. Ia mencontohkan satu pasal di RUU KUHP yang mengatur mengenai penodaan agama yang mendapat kritikan dari beberapa pihak dan pidana terhadap penodaan agama dalam KUHP juga dilakukan di negara lain, semisal, yang dilakukan Belanda.

"Awalnya Belanda menghapus pasal penodaan agama, namun di tahun 1983 memberlakukan kembali setelah munculnya kejadian persekusi terhadap kalangan agama dan minoritas tertentu di Belanda," ujarnya.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement