REPUBLIKA.CO.ID, JENEWA -- Komisaris Tinggi PBB untuk Pengungsi Filippo Grandi mengungkapkan, krisis pangan yang terjadi akibat konflik di Ukraina akan mendorong lebih banyak warga di negara-negara miskin meninggalkan rumah mereka. Hal itu dapat memicu gelombang migrasi global yang lebih tinggi.
Menurut Grandi, laporan terbaru Badan PBB untuk Pengungsi (UNHCR) yang dirilis Kamis (16/6/2022) mengungkapkan, terdapat sekitar 89,3 juta orang di seluruh dunia yang terpaksa mengungsi akibat penganiayaan, konflik, perlakuan kejam pada akhir 2021. Sejak pertempuran di Ukraina dimulai pada 24 Februari lalu, jumlahnya meningkat signifikan. Sebab jutaan warga di sana telah mengungsi ke luar negeri atau daerah perbatasan.
Grandi menilai, dengan melonjaknya harga pangan akibat konflik Ukraina, terutama gandum, hal itu bisa memicu lebih banyak gelombang perpindahan di tempat lain. “Jika Anda memiliki krisis pangan di atas semua yang telah saya gambarkan; perang, hak asasi manusia (HAM), iklim, itu hanya akan mempercepat tren yang saya jelaskan dalam laporan ini,” ucapnya, dikutip laman Global News.
Menurut dia, jika tidak segera ditangani, dampaknya akan cukup memukul. Grandi menjelaskan, di wilayah Sahel Afrika, sudah banyak orang yang melarikan diri atau mengungsi akibat kenaikan harga pangan plus pemberontakan kekerasan. “Ukraina seharusnya tidak membuat kita melupakan krisis lain,” kata Grandi.
Menurut laporan UNHCR, secara keseluruhan, jumlah pengungsi selalu meningkat setiap tahunnya selama satu dekade terakhir. Jumlah pengungsi saat ini sudah melampaui dua kali lipat angka pengungsi yang tercatat pada 2012. Berdasarkan data UNHCR, kala itu terdapat 42,7 juta pengungsi di dunia.