REPUBLIKA.CO.ID, JENEWA -- Pelapor Khusus PBB untuk situasi hak asasi manusia di Myanmar, Tom Andrews, mengatakan, Myanmar akan kehilangan generasi penerus jika junta tidak segera menghentikan kekerasan terhadap anak-anak. Sejak melakukan kudeta pada Februari 2021, kekerasan terus berlangsung di Myanmar dan anak-anak menjadi korban.
Andrews mengatakan, anak-anak terperangkap dalam baku tembak, dan tindakan keras militer. Anak-anak juga menjadi sasaran kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang.
"Serangan junta yang tak henti-hentinya terhadap anak-anak menggarisbawahi kebobrokan dan kesediaan para jenderal untuk menimbulkan penderitaan besar pada korban yang tidak bersalah dalam upaya untuk menundukkan rakyat Myanmar,” ujar Andrews, dilansir Aljazirah, Jumat (17/6/2022).
Menurut Andrews, militer telah membunuh setidaknya 142 anak dan menahan lebih dari 1.400 anak secara sewenang-wenang. Setidaknya 61 anak, termasuk beberapa di bawah usia tiga tahun, dilaporkan telah disandera. Sementara PBB telah mendokumentasikan penyiksaan terhadap 142 anak sejak kudeta.
“Saya menerima informasi tentang anak-anak yang dipukuli, ditikam, disundut dengan rokok, dan menjadi sasaran eksekusi palsu, dan ada yang kuku dan giginya dicabut selama sesi interogasi yang panjang,” kata Andrews.
Andrews mengatakan, serangan terhadap anak-anak menunjukkan respon masyarakat internasional terhadap kudeta telah gagal. Menurut Andrews, dunia internasional harus segera mengambil tindakan terkoordinasi untuk mengatasi meningkatnya krisis politik, ekonomi dan kemanusiaan yang menempatkan anak-anak Myanmar pada risiko menjadi generasi yang hilang. Andrews juga mendesak dunia internasional untuk memperketat sanksi terhadap junta Myanmar.
“Negara-negara harus mengejar sanksi ekonomi yang lebih kuat dan investigasi keuangan yang terkoordinasi. Saya mendesak negara-negara anggota untuk berkomitmen pada peningkatan dalam bantuan kemanusiaan dan dukungan regional yang tegas bagi para pengungsi," kata Andrews.
Amerika Serikat, Kanada, dan Inggris Raya telah memberlakukan sanksi terhadap para pemimpin kudeta dan beberapa bagian dari kerajaan bisnis militer yang luas. Pada Februari, Uni Eropa memperluas langkah-langkahnya untuk menjatuhkan sanksi kepada perusahaan milik negara yaitu Myanma Oil and Gas Enterprise (MOGE), yang dianggap sebagai sumber pendapatan yang menguntungkan bagi militer. Kelompok masyarakat sipil mendesak Amerika Serikat mengikuti langkah Uni Eropa.
Andrews mencatat bahwa, masyarakat internasional hanya mengalokasikan 10 persen dari dana yang dibutuhkan untuk melaksanakan Rencana Respons Kemanusiaan Myanmar 2022. Akibatnya program-program penyelamatan nyawa untuk anak-anak harus ditunda.
PBB memperkirakan bahwa sekitar 7,8 juta anak putus sekolah akibat kekerasan yang terus berlanjut di Myanmar. Sementara puluhan ribu anak kehilangan imunisasi rutin dan perawatan kesehatan penting lainnya, karena sistem kesehatan masyarakat telah runtuh.
Myanmar terjerumus ke dalam krisis setelah para jenderal, yang dipimpin oleh Min Aung Hlaing, menggulingkan pemerintah sipil terpilih Aung San Suu Kyi. Kudeta tersebut menyebabkan protes massal dan pemberontakan rakyat. Beberapa warga sipil membentuk kelompok pemberontak untuk melawan militer. Menurut Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik, hampir 2.000 orang telah dibunuh dan lebih dari 11 ribu orang ditahan oleh militer sejak kudeta.