REPUBLIKA.CO.ID, oleh Haura Hafizhah
Bulan depan rencananya revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) disahkan. Namun, masih ada sejumlah pasal yang menggelitik publik. Yaitu mengenai pasal hukuman bagi penghina pemerintah dan DPR.
Pengamat Politik dari Universitas Al Azhar Indonesia (UAI) Ujang Komarudin menanggapi terkait rencana rancangan KUHP dengan pasal penghina pemerintah dan DPR dihukum tiga tahun penjara. Menurutnya, pasal ini tidak boleh dihidupkan kembali karena bisa membuat demokrasi memudar bahkan punah.
"Mestinya pasal ini tidak dihidupkan kembali. Kalau ini dihidupkan lagi maka demokrasi tidak akan tumbuh dan tidak akan berjalan. Karena nanti masyarakat akademisi, media dan siapapun dari rakyat Indonesia akan takut mengkritik pemerintah," katanya saat dihubungi Republika, Jumat (17/6/2022).
Kemudian, ia melanjutkan hal ini nantinya menjadi persoalan. Ia mencontohkan misalnya pemerintahan melakukan korupsi pasti rakyat tidak diam saja. Mereka mengkritik. Kritikan mereka nanti dituduh menghina.
"Kalau seperti itu akan terjadi penangkapan-penangkapan. Oleh karena itu, DPR dan pemerintah mestinya tidak menghidupkan dan mengeksekusi pasal ini. Lebih baik bekerja yang lain untuk rakyat," kata dia.
Ia menambahkan kalau ini disahkan rakyat akan dibungkam dengan posisinya yang kritis. Sehingga ia ingin pemerintah tetap dengan kebijakan yang menerima apapun kritikan.
"Diharapkan pasal ini tidak direalisasikan. Rakyat tidak butuh pasal ini. Mereka hanya ingin minyak goreng murah, fasillitas kesehatan gratis dan pekerjaan," kata dia.
Sedang menurut pengamat hukum pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar pasal tersebut jika disahkan bisa membatasi kebebasan berpendapat dan membelenggu demokrasi. "Ya pasal ini membelenggu demokrasi dan kebebasan berpendapat. Delik ini delik materiil artinya penghinaan tidak berdiri sendiri karena harus menimbulkan akibat yang terjadinya kerusuhan. Artinya jika yang terjadi penghinaan saja tetap tidak menimbulkan akibat rusuh tidak dipidana," katanya.
Kemudian, ia melanjutkan pasal ini lebih tepat pidana terhadap pembuat kerusuhan dan keonaran yang tidak dikaitkan dengan penghinaan terhadap pemerintah yang bisa jadi berupa kritik dan saran. "Jadi, pemerintah itu harus siap dikritik dan diberi saran bahkan harus siap dihina. Apalagi pemerintah itu lembaga bukan orang," kata dia.
Ia menambahkan kalau pasal tersebut melawan demokrasi. Sehingga membuat masyarakat jadi takut untuk menyuarakan pendapatnya. "Kalau tidak terjadi kerusuhan seseorang tidak bisa dituntut dengan dasar pasal ini," kata dia.
Sebelumnya diketahui, RKUHP rencananya akan disahkan pada Juli 2022. Namun hingga saat ini, ada sejumlah pasal yang disorot karena dinilai mengancam masyarakat yang menghina pemerintah.
Aturan tentang penghinaan pemerintah tertuang dalam Pasal 240, dengan bunyi sebagai berikut. “Setiap orang yang di muka umum melakukan penghinaan terhadap pemerintah yang sah yang berakibat terjadinya kerusuhan dalam masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV."
Kemudian, ancaman hukuman 3 tahun penjara yang disebutkan dalam pasa 240 RKUHP tersebut akan dinaikkan menjadi 4 tahun, jika penghinaan yang dimaksud dilakukan di media sosial, sebagaimana bunyi draft pasal 24 RUKUHP berikut ini.
"Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi penghinaan terhadap pemerintah yang sah dengan maksud agar isi penghinaan diketahui umum yang berakibat terjadinya kerusuhan dalam masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak kategori V."