REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Ketua Umum Persatuan Guru Madrasah Indonesia (PGMI), Syamsuddin, menyampaikan, kesejahteraan guru madrasah dan profesionalitas mereka berbanding lurus. Menurutnya, seorang guru madrasah bisa bergerak secara profesional jika kesejahteraannya memadai.
"Guru madrasah (saat ini) mesti mencari tambahan di luar, bisa jadi tukang ojek, dan sampingan lainnya. Akhirnya perhatian dan fokus ke madrasah pasti terbagi. Pada umumnya guru seperti itu. Kalau di madrasah swasta, itu kalau tidak cukup (upahnya) ya cari tambahan lagi, saya tahu persis. Latar belakang saya mendirikan PGMI itu untuk berjuang karena kasihan mereka itu," kata Syamsuddin, yang terdengar isak-tangisnya saat bercerita kehidupan para guru madrasah kepada Republika.co.id, Ahad (19/6/2022).
Syamsuddin melanjutkan, tentu berbahaya kalau sumber daya manusia di bidang keagamaan tidak berkualitas. "Bagaimana nanti kalau jadi guru agama, kalau terjun di bidang lain, maka harus berkualitas. Dakwahnya harus bagus, pendidikannya juga," tuturnya.
Untuk itu, Syamsuddin meminta agar pemerintah ke depan memperbaiki tingkat pendidikan madrasah. Supaya sumber daya manusia dari pendidikan madrasah dan pendidikan umum itu berkualitas sama dan sejajar.
Dia juga mengungkapkan, guru madrasah sebetulnya memiliki dua peran, yaitu kader umat dan kader bangsa. Kader umat bergerak meningkatkan kualitas sumber daya manusia umat Islam, sedangkan sebagai kader bangsa, dia meningkatkan kualitas SDM pada umumnya.
"Kalau sebagai kader bangsa, dia itu memimpin di masyarakat. Kalau ada tahlilan, guru madrasah ada di situ. Kalau ada pertemuan, di situ baca doa. Kalau Jumat ada di mimbar masjid. Kalau di majelis taklim juga ada di situ. Jadi multidimensinya itu sangat besar guru madrasah," kata dia.
Syamsuddin juga merasa bersyukur dan berterima kasih atas insentif yang diberikan oleh pemerintah kepada guru madrasah non-PNS. Namun dia berharap anggaran untuk kesejahteraan guru madrasah itu harus terus diperjuangkan, baik di Komisi VIII DPR maupun di Kementerian Keuangan.
"Supaya alokasi anggaran untuk madrasah itu naik. Dan guru madrasah disamakan dengan guru-guru yang lain. Contohnya, di DKI itu Rp 1 juta untuk tunjangan guru madrasah. Ini dari pemerintah provinsinya. Kalau di daerah lain, kalau ada dari pemda itu Rp 500 sebulan. Ada pemda yang memperhatikan ini tetapi tidak merata," ujarnya.
PGMI, lanjut Syamsuddin, berupaya memperjuangkan supaya jangan hanya dinas pendidikan yang memperoleh anggaran dari APBD. Tetapi berikan juga anggaran untuk madrasah.
"Karena kan sama-sama pendidikan, sesama warga negara yang mendidik anak-anak bangsa. Pemerintah pusat dan daerah harus bergotong-royong, bukan hanya ke SMP dan SMA. Tetapi harus memperlakukan sama antara madrasah dan sekolah umum. Jika menginginkan SDM kita sama kualitasnya, maka maka kesejahteraannya juga harus sama," ucapnya.