Selasa 21 Jun 2022 03:43 WIB

Pakar UGM Dukung Imbauan tak Pakai Sandal Jepit Ketika Berkendara

Pakar menyatakan tidak serta merta larangan sandal jepit menjadi aturan berkendara.

Red: Friska Yolandha
Sejumlah pengendara motor memakai sandal jepit melintas di Jalan Raya Ciledug, Kreo, Tangerang, Banten, Selasa (14/6/2022). Korlantas Polri resmi melarang pengendara sepeda motor menggunakan sandal jepit untuk meminimalkan risiko yang dialami pengendara motor apabila terjadi kecelakaan.
Foto: ANTARA/Muhammad Iqbal
Sejumlah pengendara motor memakai sandal jepit melintas di Jalan Raya Ciledug, Kreo, Tangerang, Banten, Selasa (14/6/2022). Korlantas Polri resmi melarang pengendara sepeda motor menggunakan sandal jepit untuk meminimalkan risiko yang dialami pengendara motor apabila terjadi kecelakaan.

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Pakar Teknik Lalu Lintas dan Teknik Transportasi Universitas Gadjah Mada (UGM) Dewanti mendukung imbauan Polri agar pengendara sepeda motor tidak menggunakan sandal jepit. Ini bertujuan melindungi sekaligus menjaga keselamatan diri.

"Jika terjadi insiden (kecelakaan sepeda motor) sangat rentan mencederai pengendara atau penumpangnya. Kesenggol pastinya langsung badan, jatuh juga langsung berbenturan, berbeda dengan mobil yang ada bodi pelindungnya," kata Dewanti di UGM, Yogyakarta, Senin (20/6/2022).

Baca Juga

Menurut dia, terkait keamanan dan keselamatan pengendara sepeda motor telah diatur dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 12 tahun 2019 pasal 4 yang menjelaskan mengenai pemenuhan aspek keselamatan pengendaranya. Khusus untuk pengemudi, kata dia, ada beberapa hal yang harus dipatuhi, antara lain memakai jaket dengan bahan yang dapat memantulkan cahaya disertai dengan identitas pengemudi, menggunakan celana panjang, menggunakan sepatu, menggunakan sarung tangan, dan membawa jas hujan.

Mengacu aturan tersebut, menurut dia, sebenarnya tidak ada lagi alasan bagi pengendara sepeda motor untuk tak menggunakan alas kaki yang layak saat berkendara. Pemotor, ujar dia, wajib menggunakan sepatu apabila tidak ingin ingin celaka di jalan.

Namun demikian, kata Dewanti, tidak serta merta aturan tersebut menjadi aturan yang harus segera diberlakukan. Pasalnya, ini memerlukan waktu dan proses sosialisasi terlebih dahulu kepada masyarakat.

Laiknya implementasi pemakaian helm beberapa tahun lalu, menurut dia, untuk pemberlakuan aturan tersebut butuh waktu yang lama. Bahkan diawal-awal soal helm sebagai pelindung kepala menimbulkan, kata Dewanti, juga memunculkan pro kontra di masyarakat.

"Ada yang beralasan panas, sumuk, jika sanggulan tidak bisa dan lain-lain. Proses penyadaran butuh waktu dan pada akhirnya sekarang sudah lumayan untuk pengguna helm ini, jika di awal-awal dulu mungkin masih sekitar 70 persen, kini hampir 98-99 persen apalagi di perkotaan," kata dia.

Meski keselamatan menjadi prioritas, ia berharap pemberlakuan terhadap aturan itu nantinya bisa secara bertahap. Dewanti mengakui terkait keselamatan diri dalam berkendara masyarakat Indonesia memang belum begitu baik dibanding negara-negara yang memiliki sistem transportasi yang sudah baik.

Oleh karena itu, menurut dia, diperlukan konsistensi dan keberlanjutan dari pihak kepolisian dalam mendorong upaya keselamatan dalam berkendara. "Namanya kecelakaan di perkotaan memang lebih didominasi oleh keterlibatan sepeda motor. Ini bisa dipahami karena jumlah sepeda motor paling banyak dibanding yang lain, dan yang paling banyak menjadi korban kecelakaan adalah mereka yang usia muda antara 20 sampai 45 tahun, kelompok-kelompok usia muda dan produktif," kata dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement