REPUBLIKA.CO.ID, LUKSEMBURG -- Uni Eropa terpecah menjadi dua kelompok tentang bagaimana membantu negara-negara miskin mengatasi krisis pangan dan kelangkaan pupuk yang disebabkan perang di Ukraina. Sebagian khawatir rencana investasi tanaman di Afrika akan berbenturan dengan misi hijau Uni Eropa.
Invasi Rusia ke Ukraina memicu krisis pangan dunia dan dikhawatirkan akan semakin memburuk karena ekspor gandum dari Ukraina turun drastis dan harga pupuk kimia meningkat tajam. Rusia dan Belarusia yang terlibat dalam perang di Ukraina merupakan produsen besar.
Selama berminggu-minggu Uni Eropa mencari cara membantu negara-negara miskin di Afrika dan Timur Tengah mengatasi krisis dengan menawarkan dana segar baru. Sambil menyakinkan mereka sanksi Uni Eropa pada Moskow dan Minsk bukan penyebab krisis pangan.
Di pertemuan pemimpin Uni Eropa pekan ini blok itu berencana meluncurkan inisiatif baru untuk menurunkan ketergantungan negara-negara miskin pada pupuk Rusia. Caranya dengan membantu mereka membangun pabrik pupuk sendiri.
Namun di pertemuan utusan Uni Eropa pekan lalu Komisi Uni Eropa dengan eksplisit menentang rencana itu. Mereka memperingatkan dukungan untuk membangun pabrik pupuk di negara berkembang tidak konsisten dengan kebijakan lingkungan dan energi Uni Eropa.
Produksi pupuk kimia berdampak besar pada lingkungan dan membutuhkan energi yang besar, tapi efektif mendorong hasil pertanian. Dalam rancangan kesimpulan pertemuan 23 dan 24 Juni mendatang mendesak komisi Uni Eropa untuk menyarankan rencana "mendukung pembangunan kapasitas pabrik pupuk dan alternatif di negara-negara berkembang".
Seorang pejabat Uni Eropa mengatakan teks yang bertanggal 15 Juni dan disiapkan staf Presiden Dewan Eropa Charles Michel itu akan dibahas dan akan diubah para duta besar Uni Eropa.
Pejabat tersebut menambahkan komisi Eropa mendesak pemerintah untuk mengubah teks itu dan hanya mengacu pada rencana mempromosikan alternatif pada pupuk atau penggunaan pupuk yang efisien. Komisi Eropa tidak memberikan komentar mengenai hal ini.