Selasa 21 Jun 2022 09:52 WIB

Parlemen Dibubarkan, Israel akan Gelar Pemilu Baru

Israel akan menggelar pemilu kelima dalam tiga setengah tahun.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Friska Yolandha
Perdana Menteri Israel Naftali Bennett dan Menteri Luar Negeri Israel Yair Lapid telah sepakat membubarkan parlemen, Senin (20/6/2022).
Foto: AP/Maya Alleruzzo
Perdana Menteri Israel Naftali Bennett dan Menteri Luar Negeri Israel Yair Lapid telah sepakat membubarkan parlemen, Senin (20/6/2022).

REPUBLIKA.CO.ID, TEL AVIV -- Perdana Menteri Israel Naftali Bennett dan Menteri Luar Negeri Israel Yair Lapid telah sepakat membubarkan parlemen, Senin (20/6/2022). Negara tersebut akan menggelar pemilu baru untuk pembentukan pemerintahan baru.

“Setelah menghabiskan semua upaya untuk menstabilkan koalisi, Perdana Menteri Naftali Bennett dan Yair Lapid telah memutuskan untuk mengajukan rancangan undang-undang RUU pembubaran Knesset (parlemen Israel),” kata partai Yamina dan Yesh Atid yang berkoalisi dalam sebuah pernyataan bersama.

Baca Juga

Bennett merupakan pemimpin Yamina, sedangkan Lapid adalah ketua Yesh Atid. Menurut kedua partai tersebut, RUU akan diajukan pekan depan. Jika disetujui, Lapid akan mengemban jabatan perdana menteri untuk sementara.

Menteri Pertahanan Israel Benny Gantz adalah anggota kabinet pertama yang mengkonfirmasi RUU yang diusulkan. “Saat ini, saya berterima kasih kepada Perdana Menteri Naftali Bennett yang telah melakukan upaya signifikan untuk memimpin (pemerintah), dan semoga sukses kepada Menteri Luar Negeri Yair Lapid, yang akan segera mengambil alih sebagai perdana menteri. Pemilu dan periode ketidakstabilan bukanlah hal yang baik, tapi kami akan bertekad untuk mengutamakan Israel dan warganya," kata Gantz lewat akun Twitter-nya.

Jika RUU pembubaran parlemen disetujui, Israel akan menggelar pemilu kelima dalam tiga setengah tahun. Pemilu kemungkinan digelar pada Oktober mendatang. Mantan perdana menteri Israel sekaligus pemimpin partai Likud, Benjamin Netanyahu, menyambut kabar tentang “keruntuhan” pemerintahan Bennett. Menurut Netanyahu, itu merupakan berita bagus bagi jutaan warga Israel.

“Setelah perjuangan keras selama setahun oleh oposisi di Knesset dan penderitaan besar oleh publik di Israel, jelas bagi semua orang bahwa pemerintahan terburuk dalam sejarah Israel telah berakhir,” kata Netanyahu.

Netanyahu berjanji untuk membentuk pemerintahan berikutnya. "Rekan-rekan saya dan saya akan membentuk pemerintahan nasional yang dipimpin oleh Likud yang akan mengurus semua orang, semua warga Israel tanpa terkecuali," ucapnya.

Saat ini Israel dipimpin pemerintahan koalisi hasil gabungan delapan partai dengan haluan serta latar belakang yang berbeda-beda. Partai United Arab List juga tergabung di dalamnya. Koalisi itu dipimpin Naftali Bennett selaku ketua partai Yamina dan Yair Lapid, pemimpin partai Yesh Atid.

Pemerintahan koalisi itu disetujui dan disahkan Knesset pada 13 Juni tahun lalu. Dari total 120 anggota Knesset, 60 di antaranya memberikan dukungan, sementara 59 lainnya menolak. Meski selisihnya sangat tipis, hasil itu mengakhiri masa jabatan perdana menteri Benjamin Netanyahu yang telah berlangsung selama 12 tahun berturut-turut.

Karena pemerintahan koalisi, Bennett dan Lapid berbagi masa jabatan perdana menteri yang rentangnya empat tahun. Bennett bakal menjadi perdana menteri pada dua tahun awal atau hingga September 2023. Sisa masa jabatan akan diteruskan oleh Lapid.

Karena koalisi diisi partai dengan latar belakang beragam, plus tipisnya dukungan di parlemen, pemerintahan Bennett dan Lapid dinilai rapuh dan rawan guncangan.

sumber : Reuters
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement