REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Pakar hukum ketenagakerjaan Fakultas Hukum Universitas Airlangga (Unair) Hadi Subhan menanggapi pemutusan hubungan kerja (PHK) massal oleh beberapa startup di Indonesia dalam menghadapi fase bubble burst. Bubble burst adalah fase pertumbuhan ekonomi yang ditandai dengan naiknya nilai pasar dengan cepat, namun diikuti dengan penurunan nilai yang cepat juga.
Hadi mengingatkan, Undang-Undang Cipta Kerja sudah mengatur hal-hal mengenai PHK oleh perusahaan terhadap pekerjanya. Oleh karena itu, kata dia, PHK yang dilakukan oleh perusahaan terhadap karyawannya tidak boleh dilakukan sewenang-wenang.
Hadi mengatakan, untuk menghindari PHK massal bagi perusahaan yang masih baru dan uji coba terhadap produknya, maka dapat menerapkan PKWT (Perjanjian Kerja Waktu Tertentu) atau yang biasa disebut dengan kerja kontrak. "Sehingga ketika produknya gagal, maka PKWT tersebut dapat berakhir,” kata Hadi, Selasa (21/6).
Hadi menerangkan, PHK memang dapat dilakukan perusahaan terhadap pekerjanya jika terjadi efisiensi karena merugi. Namun, kata dia, perusahaan wajib memberikan pesangon kepada pekerjanya yang terkena PHK sebesar 0,5 kali dari ketentuan.
"Pekerja yang terkena PHK harus mendapatkan pesangon atau kompensasi. Kalau itu pekerja tetap, maka wajib mendapat pesangon. Kalau itu pekerja kontrak, maka wajib mendapat kompensasi,” ujarnya.
Menurutnya, banyak faktor yang menyebabkan PHK massal dilakukan oleh perusahaan. Di antaranya karena ingin menyelamatkan bisnis dan mengembalikan dana investor. Faktor-faktor tersebut, lanjutnya, bisa terjadi karena perusahaan salah strategi sehingga terjadi penurunan kinerja, kompetensi sumber daya manusia yang tidak maksimal, serta tren banyaknya startup yang baru berdiri sehingga menyebabkan startup-startup tidak mampu bersaing.
"Tapi perusahaan tidak dapat berdalih bahwa karena perusahaan merugi atau karena kompetensi sumber daya karyawan yang rendah maka perusahaan tidak bisa membayar pesangon atau kompensasi. Tetap harus dibayarkan,” kata Hadi.