Selasa 21 Jun 2022 13:31 WIB

38 Ribu Hektare Hutan Mangrove di Pantura Jawa Barat Rusak

Kerusakan hutan mangrove di Pantura Jawa Barat mencapai 90 persen.

Rep: Arie Lukihardianti/ Red: Nur Aini
Pengendara sepeda motor melintasi area hutan bakau (mangrove) yang telah mati, ilustrasi. Hutan mangrove di Jawa Barat saat ini kondisinya banyak yang rusak.
Foto: ANTARA/Teguh Prihatna
Pengendara sepeda motor melintasi area hutan bakau (mangrove) yang telah mati, ilustrasi. Hutan mangrove di Jawa Barat saat ini kondisinya banyak yang rusak.

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Hutan mangrove di Jawa Barat saat ini kondisinya banyak yang rusak. Menurut Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Provinsi Jawa Barat (Jabar), Prima Mayaningtyas, mengatakan, dari 43 ribu hektare lahan mangrove di Pantai Utara (Pantura), yang mengalami kerusakan mencapai 90 persen atau sekitar 38.000 hektare.

Berdasarkan data yang ada di DLH, kerusakan degradasi habitat mangrove di seluruh pantai di Jabar mencapai 61 persen dan kerusakan ekositem terumbu karang sekitar 44 persen. 

Baca Juga

"Yang di (Pantai) Utara Jawa Barat saja, itu 90 persen sudah rusak. Itu di luas (total) 43 ribu hektare itu, 90 persennya sudah rusak," ujar Prima Mayaningtyas usai membuka acara Forum Group Discussion Restorasi Mangrove di Pesisir Utara, di Kota Bandung, Selasa (21/6/2022).

Prima menjelaskan, daerah Pantura yang hutan mangrovenya rusak di antaranya ada di Subang, Karawang, Indramayu dan Cirebon. Kondisi itu menunjukkan bahwa penanaman mangrove membutuhkan upaya ekstra.  

"Karena kalau mangrove nya kondisi rusak atau tidak ada akan berdampak besar bagi lingkungan. Seperti banjir rob karena mangrove tak bisa jadi berier lagi oleh karena itu kita berupaya agar kondisi mangrove bisa semakin kuat," ujarnya.

Selain itu, menurut Prima, kerusakan mangrove menandakan bahwa perubahan iklim sudah terjadi saat ini.

"Kita tahu iklim berubah dan ada lima sektor emisi yg membuat gas emisi rumah kaca kita semakin besar ke bumi ini," katanya.

Kemudian, kata dia, akan ada perubahan iklim yang besar baik dari sisi energi pertanian, kehutanan hingga limbah domestik. Dengan kondisi tersebut kita ambil satu dari aspek tutupan lahan saat ini tidak hanya hutan yang ada dipegunungan yang rusak tapi juga mangrove kondisinya rusak. 

"Karena efek dari gas rumah kaca yang membuat permukaan air menjadi tinggi," katanya.

Menurutnya, dengan tak adanya green belt mangrove ini maka tak bisa menahan akar sehingga akan terjadi banjir. Apalagi, ekspolitasi juga terjadi di wilayah mangrove tersebut.

"Makanya kami juga mengajak komunitas untuk mengatasi permasalahan mangrove ini karena kalau hanya pemerintah itu susah," katanya.

Prima mencontohkan, di daerah Indramayu banyak daerah yang terkena abrasi akibat kerusakan mangrove. Penanggulangan kerusakan mangrove ini sejalan dengan arahan presiden.

"Upaya yang dilakukan oleh DLH mengatasi kerusakan mangrove ini dilakukan dengan 2 dinas terkait yang lain. Kami berkolaborasi dengan Diskanlut dan Dishut. Khusus d DLH ada bidang yang namanya bidang konservasi sumber daya alam. Bidang ini yang akan menghandle masalah kerusakan mangrove," ujarnya.

Sementara menurut Ketua Yayasan Wanadri, Tri Wahyu, ada 190 hektare rusak yang di data oleh Wanadri di wilayah Mayangan Pantura Subang. Artinya, Wanadri mencoba membuat permodelan dari sebuah penelitian. 

"Nanti tergantung pemda dukungannya seperti apa. Kami mencoba membuat sebuah model baik itu penelitian sampai penanaman mangrove. Karena penanaman mangrove tak bisa dilakukan sepanjang tahun tapi ada waktu tertentu," katanya.

Selain itu, kata dia, pihaknya juga memiliki penelitian bagaimana membibitkan. Karena, Wanadri tak mau kegiatan menanam mangrove dibiarkan begitu saja tapi harus ada perawatan setelahnya. 

"Kami punya sistem monitoring yang meyakinkan dalam satu dua tahun mongrove hidup tak hilang. Seandainya hilang kita harus ganti dengan yang baru. Kami berharap program ini jadi percontohan atau pilot project daerah yang lain," ujarnya. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement